A. Pendahuluan
Merujuk Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang
Kepailitan seperti ditegaskan Pasal 1 ayat 1, perusahaan dapat dinyatakan
pailit bila mempunyai hutang jatuh tempo dapat ditagih kepada dua atau lebih
kreditor. Meskipun perusahaan itu sehat secara manajemen dan keuangan, namun
bila mana ada pihak menyatakan perusahaan itu tak sesuai perjanjian yang telah
disepakati bersama, maka Pengadilan Niaga dapat menetapkan perusahaan itu
menjadi pailit. Artinya, faktor kelalaian perusahaan menunaikan kewajiban
sesuai perjanjian yang dilakukan, dapat membawanya kepada gugatan secara
sepihak memutuskan pailit bagi perusahaan itu.
Tidak mustahil terjadi ada pihak-pihak yang
memanfaatkan susbtansi itu untuk menjatuhkan sebuah perusahaan menjadi pailit.
Padahal perusahaan itu sehat manajemen dan keuangannya, akibatnya adalah
kredibilitas perusahaan menjadi buruk.
Kondisi ini menunjukkan buruknya iklim perusahaan
dan kinerjanya akibat Undang-Undang yang memberi peluang terjadinya pailit semu, mengingat sebuah
perusahaan dapat dinyatakan pailit, apabila manajemen tidak berjalan baik dan
perusahaan merugi terus.
Tulisan ini akan menyoroti kasus perjanjian kontrak
seorang Konsultan Asuransi Warga Negara Malaysia dengan Perusahaan Asuransi PT.
Prudential Life Assurance, menyusul permohonan pailit oleh konsultan tersebut,
sehingga oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, PT. Prudential Life Assurance
dinyatakan pailit tanggal 23 April 2004. Keputusan ini tentunya mengagetkan
semua pihak dimana kinerja dan keuangan PT. Prudential Life Assurance masih
sehat. Sehingga permohonan kasasi ke Mahkamah Agung pun diajukan oleh pihak
Prudential. Tanggal 19 Mei 2004 Dewan Asuransi Indonesia meminta Mahkamah Agung
mengabulkan kasasi Prudential. Dan akhirnya 7 Juni 2004 Mahkamah Agung
mengabulkan kasasi Prudential dan menganulir keputusan pailit Pengadilan Niaga.
Selain kasus ini terdapat beberapa kasus serupa yang akhirnya muncul amandemen
terhadap UU Kepailitan No. 4/1998.
B. Duduk Perkara
Pada tanggal 1 Juli 2000 Lee Boon Siong, warga
negara malaysia, bersama PT Prudential meneken perjanjian kerjasama keagenan.
Berdasarkan perjanjian itu, Lee wajib mengembangkan keagenan dan memasarkan
produk asuransi PT Prudential. Sebaliknya, perusahaan asuransi yang mulai
beroperasi di Indonesia pada 1995 itu wajib membayar bonus atas prestasi yang
dicapai Lee.
Pada tanggal 20 Januari 2004 PT Prudential
membatalkan perjanjian itu secara sepihak. Karenanya pada tanggal 7 April 2004
Lee memohonkan pailit perusahaan asuransi yang induknya didirikan di London,
Inggris, pada tahun 1848 itu.
Pengacara Lee, Lucas, menyatakan ada empat
kewajiban PT Prudential yang tidak dipenuhi. Mulai dari tidak membayar biaya
perjalanan sebesat Rp 130 juta, belum membayar bonus rekrutmen sebesar Rp 4,2
miliar, bonus konsistensi Rp 1,4 miliar, hingga jasa konsultasi keagenan
senilai Rp 360 miliar. Semua utang itu menjadi jatuh tempo karena dibatalkannya
perjanjian.
Dari keempat kewajiban tersebut hanya satu yang
disetujui oleh pengadilan Niaga yaitu bonus konsistensi. Dan ini berakibat fatal,
karena syarat-syarat dalam kepailitan terpenuhi (saat itu masih merujuk pada
Undang-Undang No.4 Tahun 1998 sebelum akhirnya di Amandemen), yaitu adanya satu
utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih serta adanya minimal dua kreditor. Tak
pelak tanggal 23 April 2004 majelis menyatakan PT Prudential pailit.
Putusan ini membuat kaget sekaligus menyulut
kekecewaan Presiden Direktur PT Prudential saat itu, Charlie E Oropeza. Sebab
perusahaan memiliki kondisi keuangan yang sangat kuat saat itu sehingga putusan
itu sama sekali tidak berdasar. Pada saat itu Prudential memiliki 230 karyawan
dan 8000 tenaga pemasaran. Per tanggal 31 Desember 2003, tingkat risk based capital-nya mencapai 225%,
jauh melampaui ketentuan Departemen Keuangan sebesar 100%. Sementara itu, total
pendapatan premi tumbuh 114% jika dibanding pada 2002, dari Rp 477 miliar
menjadi lebih dari Rp 1 triliun.
C. Putusan Mahkamah Agung dan Amandemen UU Kepailitan
Sejarah
UU Kepailitan (1906 – 1998)
Sejak masa penjajahan Belanda, persisnya sejak
tahun 1906, telah berlaku aturan main tentang kepailitan dalam Staatblads 1905
No. 217 jo. Staatblads 1906 No. 348 Faillissements Verordening. Ketentuan ini
tetap dipakai oleh Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia dalam memutus perkara
kepailitan hingga tahun 1970-an.
Ketika krisis moneter melanda Indonesia pada tahun
1997, banyak perusahaan tidak mau membayar lunas hutang mereka meski sudah
ditagih. Sikap membandel para pengusaha nakal itu memunculkan gagasan untuk
memberlakukan proses kepailitan dengan cara memperbaiki perundang-undangan di
bidang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Maka, pada 20 April
1998 pemerintah menetapkan Perpu No. 1/1998 tentang perubahan atas
Undang-Undang tentang Kepailitan yang kemudian pada 9 September 1998 disetujui
DPR menjadi UU No. 4/1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun
1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan.
Efek ke
Perusahaan Asuransi
Persyaratan kepailitan dibuat lebih sederhana
supaya lebih mudah menjatuhkan pailit bagi perusahaan-perusahaan yang enggan
melunasi hutang ataupun wanprestasi. Akibatnya, cukup banyak perusahaan
mendapat vonis pailit, tak terkecuali perusahaan asuransi yang nota bene bergerak di bidang kepentingan
publik.
Menyangkut perusahaan asuransi semenjak
diberlakukannya UU No.4/1998 tercatat beberapa perkara kepailitan diputus
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, antara lain China Trust Commercial Bank melawan
PT Asuransi Jasa Indonesia, Frederick Rachmat HS melawan PT Asuransi Wataka, PT
Dharmala Sakti Sejahtera Tbk melawan PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, dan
terakhir Lee Boon Siong melawan PT Prudential Life Assurance.
Amandemen
UU Kepailitan dan Pencabutan Putusan Pailit PT. Prudential Life Assurance
UU No.4/1998 banyak mendapat kritik karena
memperlakukan perusahaan asuransi selaku debitor tidak sama dengan perusahaan
yang bergerak di bidang kepentingan publik lainnya dalam hal pengajuan permohonan
pailit. Kritik tersebut diakomodir dalam amandemen UU Kepailitan yang kemudian
disahkan menjadi UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Dalam UU No.37/2004 terdapat ketentuan bahwa ketika debitor
adalah perushaan asuransi atau reasuransi, maka pengajuan permohonan pailit
dilakukan oleh Menteri Keuangan.
Bagaimana
dengan Prudential? Setelah permohonan kasasi ke Mahkamah Agung
akhirnya Prudential Indonesia telah dinyatakan menang di pengadilan dan
ditegaskan oleh Mahkamah Agung (MA) melalui Putusan MA nomor 8K/N/2004, serta
bebas dari tuntutan pailit.
D. Kesimpulan
Perusahaan dapat dinyatakan pailit bila mempunyai
hutang jatuh tempo dapat ditagih kepada dua atau lebih kreditor. Undang-Undang
No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan memberi peluang terjadinya pailit semu, artinya faktor kelalaian
perusahaan menunaikan kewajiban sesuai perjanjian yang dilakukan, dapat
membawanya kepada gugatan secara sepihak memutuskan pailit bagi perusahaan itu,
meskipun perusahaan itu sehat secara manajemen dan keuangan seperti kasus yang
terjadi di PT. Prudential Life Assurance.
Kasus ini akhirnya melahirkan amandemen UU
Kepailitan yang kemudian disahkan menjadi UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam UU No.37/2004 terdapat ketentuan
bahwa ketika debitor adalah perushaan asuransi atau reasuransi, maka pengajuan
permohonan pailit dilakukan oleh Menteri
Keuangan.
Sumber Tulisan :
1.
“Putusan MK dan Semangat Amandemen UU Kepailitan,”
Berita Mahkamah Konstitusi, No. 10, Mei – Juni 2005.
2.
“Analisis Pailit Perusahaan Prudential Assurance,”
ditulis oleh Prof. Drs. Arozatulo Lase, S.H.
3.
“Prudential Dinyatakan Pailit – Walau memiliki
keuangan cukup kuat, PT Prudential tetap saja bisa dipailitkan. Bagaimana nasib
nasabahnya?” Majalahtrust.com
4.
Trust Announcement, PT Prudential Life Assurance,
15 Mei 2011