Oleh : Aditia Tidyaputra, David Iwan Setiabudi, Lingga Wardhana dan Stefanus Andre Setiawan (Mahasiswa MM UGM Jakarta)
LATAR BELAKANG
|
Gambar 1. Starbucks Frappuccino |
Globalisasi yang terjadi beberapa tahun belakangan membuat
kompetisi di dunia usaha semakin ketat, terutama untuk industri jasa dengan
produk yang serupa. Hal yang paling penting untuk mencapai keberhasilan dalam bisnis ini
selain produk yang berkualitas, juga suasana kerjasama dan jumlah
hasil kerja tim dalam penjualannya. Karyawan yang diposisikan menjadi team
terdepan dan mengetahui apa kebutuhan konsumen adalah first line staff, untuk
itu sangatlah penting bagi sebuah perusahaan untuk memotivasi, memberikan
penghargaan, dan melatih karyawan ini untuk menjadi karyawan berkualitas.
Starbucks Corporation, sebuah perusahaan
terkenal di dunia dengan bidang retail, dengan konsep sebuah restoran
menghadirkan produk utama adalah kopi dan teh. Di dunia Starbucks Corporation sudah memiliki sekitar 4000 cabang, dan termasuk perusahaan dengan
perkembangan yang cepat di Amerika. Starbucks Corporation selain terkenal
dengan kualitas kopinya juga dikenal dengan pelayanan konsumen dan perusahaan
dengan biaya yang tinggi. Starbucks membangun sebuah lingkungan bisnis dimana
mensosialisasikan ke konsumen sebuah produk dengan harga yang sesuai dengan
produknya dan tidak ada batasan umur untuk datang dan menikmati produk di
outlet.
Selain itu Starbucks juga memperhatikan kepuasan dari para karyawanya. Besaran Turnover untuk
pegawai di starbuck berkisar 65%, dan untuk level manager sebesar 25%. Dibandingkan dengan industri sejenis sebesar 150% sampai 400% dan 40%.
Dapat dilihat bahwa angka turnover di
Starbucks masih dibawah industri sejenis (Michelli,
2006)
Sehingga Starbucks dapat dijadikan salah satu sebuah model bisnis yang optimal
dengan memperhatikan beberapa faktor yaitu motivasi karyawan, kepuasan
pelanggan dan kerjasama tim.
PROFIL PERUSAHAAN
|
Gambar 2. Howard Schultz - President and CEO of Starbucks |
CEO Starbucks, Howard Schultz,
menganggap bahwa puncak kesuksesan di Starbucks bukan kopi tetapi karyawan.
Dengan menambah pengalaman kerja karyawan dan memberikan kesempatan promosi
bagi mitra kerja adalah cara untuk meningkatkan keberlanjutan (Sustainibility)
perusahaan. Schultz yakin bahwa semangat Starbucks adalah karyawan dan rasa
terhormat sebagai karyawan Strabucks adalah nilai (value) sebagai
seorang karyawan Starbucks. Karyawan perlu untuk memiliki pengetahuan yang baik
dan pelatihan untuk kinerja yang lebih baik dalam sebuah perusahaan (Michelli,
2006). Starbucks membuat lingkungan kerja yang aktif sehingga membuat karyawan
menanamkan nilai-nilai Starbucks dalam diri mereka, sehingga
mereka dapat memotivasi para mitra untuk kepuasan diri dan kemudian mencapai
kinerja yang lebih baik.
Sejarah Starbucks
Starbucks dimulai dari sebuah kedai kopi
yang didirikan oleh tiga orang yaitu Jerry Baldwin, Zev Siegl, and Gordon
Bowker, Ketiga sahabat tersebut sama-sama kuliah di University of Seattle. Pada
tahun 1971, Starbucks dikenal dengan nama “Starbucks Coffee, Tea, and Spice”
dan didirikan di Seattle, Washington’s Pike Place Market. Starbucks mendapatkan keuntungan dengan
menjual Biji kopi siap olah (roasted
coffee beans) ke konsumen langsung dan ke restoran. Perjalanan bisnis
Starbucks berkembang pesat dengan membuka empat toko di tahun 1982, hal ini membuat
Howard Schultz seorang salesman Hammerplast sebuah perusahaan alat rumah tangga
dari New York tertarik untuk mengunjunginya. Howard Schultz ingin mengetahui
mengapa sebuah usaha kecil membutuhkan jumlah yang besar dari produk dari
Hammarplast yaitu percolators (teko kopi). Hubungan bisnis antara kedua
perusahaan ini membuat Howard Schultz mengenal pendiri Starbucks dan ingin
menjadi bagian dari Starbucks dikarenakan lingkungan dan atmosfir Starbucks
yaitu totalitas orang-orangnya dalam memilih dan mengolah kopi, sehingga
tertarik untuk bergabung dan menduduki posisi marketing and retail sales
director.
Pada 1983, Howard Schultz yang
baru setahun bergabung dengan Starbucks, melakukan lawatan bisnis ke Milan,
Italia. Dia tertarik dengan gaya warung-warung kopi di sana, yang menyediakan
kehangatan dan kafe sebagai tempat bersosialisasi, hal ini membuat beberapa
orang beranggapan kopi sebagai gaya hidup, tempat berkumpul dan ngobrol dengan
teman. Schultz ingin menerapakan gaya tersebut di Amerika Serikat, kafe kopi
yang tersebar dan digunakan sebagai tempat bersosialisasi dan sebagai gaya
hidup. Hal ini membuat Schultz pada saat kembali ke Seattle dan mengusulkan Starbucks
menirunya, di dalam benaknya warga Amerika Serikat (AS) pasti menyukai
warung-warung kopi seperti itu. Tapi, trio guru bahasa Inggris Jerry Baldwin,
guru sejarah Zev Siegel, dan penulis Gordon Bowker, yang mendirikan Starbucks
pada 1971, tak setuju. Schultz memilih untuk mendirikan toko kopi baru, bernama
II Giornale, di Seattle, setelah dua tahun ke depan, karena strategi sukses
Schultz tiga pemilik asli Starbucks memutuskan untuk menjual perusahaan mereka
kepada Schultz. Kemudian Schultz berkumpul investor lain dan mengambil alih
nama II Giornale ke Starbucks. Dia berusaha untuk mengejar impiannya untuk
membuat semua orang bisa meminum kopi, sehingga ia terfokus pada ekspansi perusahaan.
Pada saat itu Schultz berfikir bahwa cara yang paling efisien untuk pertumbuhan
perusahaan adalah dengan membuka outlet baru di tempat baru. Pada tahun 1987
Starbucks membuka outlet di luar Amerika pertama kali di Jepang, pada
tahun-tahun berikutnya Starbucks mengalami defisit karena melakukan strategi perluasan perusahaan
dengan menambah jaringan outlet baru. Schultz yakin bahwa untuk terus mendukung
intregitas jangka panjang perusahaan dan tidak memikirkan profit tetapi hanya
jangka pendek (Michelli, 2006). Tahun 1991 Starbucks mengalami
keuntungan dan penjulan meningkat sampai 84%, tahun 2002 Starbucks berkembang
dari hanya memiliki 17 outlet menjadi 5688 outlet yang tersebar di 30 negara
dengan strategi perluasan yang dilakukan oleh Schultz, berkembang 300 persen
berkembang dalam waktu 10 tahun. Majalah
Fortune mencatat tahun 2005 Starbucks masuk perusahaan terbaik urutan ke 11 di
Amerika Serikat, kemudian menduduki urutan ke 29 pada tahun 2006 dan di tahun
2007 menduduki peringkat ke 16. Pada tahun 2007 Starbucks menjadi sepuluh besar
perusahaan dengan tempat kerja terbaik di Inggris.
ANALISIS
PERILAKU ORGANISASI
Five Principles of Starbucks
|
Gambar 3. Buku "The Starbucks Experience" dan penulisnya Joseph A. Michelli |
Berdasarkan buku “ The Starbucks
Experience”, perusahaan tersebut dalam menjalankan operasionalnya memberikan 5
prinsip yang ditanamkan kepada karyawannya, yaitu :
a. Prinsip Pertama – Lakukan dengan
Cara Anda – (Make it Your Own)
Starbucks memberikan kebebasan kepada
karyawannya (atau partnernya) untuk melakukan apa saja untuk memastikan
konsumen mendapatkan pelayanan atau pengalaman yang baik.
b. Prinsip Kedua – Semuanya Penting
– (Everything Matters)
Karyawan Starbucks dilatih untuk selalu
memperhatikan detail – detail yang terkecil yang sangat penting bagi
konsumennya. Aktivitas ini dibedakan menjadi 2 aktivitas yaitu “above deck” (yang terlihat) maupun “below deck” (yang tidak terlihat).
c. Prinsip Ketiga – Kejutan dan Kesenangan – (Surprise and Delight)
Di Starbucks, membudidayakan kemampuan
mereka untuk memberikan kepuasaan bagi pelanggannya dan melebihi apa yang
mereka harapkan. Sehingga karyawan harus mampu memberikan kejutan – kejutan
atau kesenangan dari sumber – sumber yang tak terduga.
d. Prinsip Keempat – Terbuka
Terhadap Kritik – (Embrace Resistance)
Karyawan Starbucks harus selalu menerima
masukan, baik yang positif maupun yang negatif dan menggunakan masukan negatif
tersebut sebagai pelajaran untuk melakukan pengembangan.
e. Prinsip Kelima – Leave Your Mark
Starbuks memiliki sebuah komitmen yang kuat disekitar
mereka. Prinsip ini terfokus pada aspek sosial perusaahaan, termasuk di
dalamnya aktivitas tentang lingkungan dan berbagai macam masalah sosial, atau
yang biasa disebut dengan Corporate Social Responsibility (CSR).
Teori
Motivasi Hezberg
Dalam
memahami sikap dan motivasi karyawan, Frederick Herzberg melakukan penelitian
untuk menentukan faktor – faktor yang mempengaruhi kepuasan dan ketidakpuasan
karyawan terhadap lingkungan kerja mereka.
Penelitian tersebut
dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap karyawan yang puas dan tidak puas
terhadap pekerjaan mereka. Herzberg menemukan bahwa faktor yang memberikan
kepuasan kerja berbeda dengan faktor yang tidak memberikan kepuasan kerja.
Herzberg menyebutnya motivators dan hygiene factors.
Berikut adalah tabel faktor – faktor yang menyebabkan
ketidakpuasan dan kepuasan pekerjaan, serta diurutkan berdasarkan yang paling
penting
|
Gambar 4. Teori Motivasi Hezberg |
Starbucks
ditinjau dari segi organizational behaviour adalah sebuah konsep perusahaan
besar dengan banyak lini yang sudah menciptakan sebuah lingkungan kerja yang
ideal untuk karyawan. Jumlah turnover
yang lebih rendah dari perusahaan sejenis membuat Starbucks menjadi impian
setiap orang untuk bekerja di perusahaan tersebut. Hal utama yang telah dijalankan di
Starbucks adalah penerapan teori motivasi Hezberg yang dilakukan dengan
menciptakan lingkungan kerja yang membuat karyawan dapat memotivasi dirinya sehingga
mencapai kepuasan kerja. Hezberg dalam toeri motivasi menjelaskan bahwa ada
faktor motivator (faktor intrinsik) yang memberikan kepuasan dalam bekerja
yang menjadi dasar karyawan mengalami
kepuasan kerja. Faktor intrinsik tersebut sejalan dengan lima prinsip yang
terdapat dalam buku Starbucks experience yaitu :
- Achievement Factor
Starbucks
dalam menjalankan bisnisnya berorintasi pada kepuasan karyawan, sehingga dalam
menjalankan bisnis karyawannya menjalankan bisnis sesuai dengan cara mereka sendiri,
dengan harapan konsumen puas dan akan kembali. Karyawan juga mendapatkan
keuntungan dengan mendapatkan diskon pada saat membeli starbucks. Pelayanan
yang baik secara tidak langsung perusahaan akan mendapatkan konsumen loyal yang
akan menghasilakan pendapatan bagi perusahaan. Starbucks juga memberikan
pembagian hasil keutungan melalui saham kepada para karyawannya sebagai reward
atas kerja mereka terhadap perusahaan. Bonus untuk libur dan diskon bagi
karyawan yang bekerja lebih dari 20 jam.
- Recognition
Karyawan
diberikan kebebasan dalam memberikan saran dan kritik terhadap perusahaan dan
perusahaan menghargai kritikan dan saran lalu menyikapinya untuk kemajuan
perusahaan. Starbucks menghargai karyawan sebagai mitra dan diberikan kebebasan
dalam menyampaikan saran dan kritiknya.
- Work Itself
Karyawan
Strabucks dalam menjalankan rutinitas kerjanya memunculkan kebersamaan sebagai
tim. Manajer adalah pimpinan tetapi karyawan bisa melakukan pengambilan
keputusan sejauh itu menguntungkan pelanggan dan berdampak pada kepuasan
pelanggan.
Karyawan dalam
menjalankan bisnisnya harus berpantokan bahwa semua aspek di Strabucks adalah
penting yaitu konsumen, pengendalian mutu, bahan baku dan bekerja harus
menonjolkan quality service yang
menjadi utama.
- Responsibility
Starbucks
memberikan kebebasan kepada karyawan namun harus disertai tanggung jawab atas
apa yang telah dilakukan. Karyawan mengemban tanggung jawab untuk harus menjaga
kualitas dari pelayanannya kepada konsumen. Manajer memberikan kesempatan
kepada barista untuk memberikan masukan dan jam kerja yang fleksibel namun
menuntut tanggung jawab agar memberikan yang terbaik untuk kepuasan konsumen (Quality Service).
- Advancement
Starbucks
dalam pengembangan karyawan dengan memberikan kemungkinan berkembang kepada
karyawan hingga menjadi mitra suatu saat nanti sehingga pengalaman bekerja di
Starbucks adalah menyenangkan. Dalam pengembangan karyawan Starbucks memberikan
training kepada karyawan dalam pembuatan kopi, pemilihan bahan baku kopi,
hingga pengembangan bisnis.
- Growth
Karyawan
termotivasi dengan Starbucks memberikan kompensasi berupa pembagian keuntungan
kepada karyawan. Motivasi karyawan tercipta dengan mereka bekerja dengan
lingkungan yang menciptakan kenyamanan dan disertai dengan penambahan bonus
berupa pendapatan atas hasil bagi saham.
The Hawthorne
Studies
Kontribusi
penting dalam pengembangan teori OB adalah dilakukannya penelitian yang dikenal
dengan The Hawthorne Studies. Penelitian ini dimulai pada tahun 1924
sampai dengan awal 1930-an. Penelitian dilakukan di Western Electric Company
Works in Cicero, Illinois. Penelitian ini menguji dampak berbagai tingkat
pencahayaan terhadap produktifitas kerja karyawan. Penelitian ini menggunakan
desain eksperimen dengan membagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kontrol
dan kelompok eksperimen. Kelompok eksperimen diberikan perlakuan dimana
karyawan bekerja pada berbagai variasi intensitas pencahayaan, sedangkan
kelompok kontrol bekerja pada intensitas pencahayaan yang konstan.
Hasil
penelitian ini menemukan bahwa peningkatan tingkat intensitas pencahayaan pada
kelompok eksperimen, menghasilkan peningkatan baik pada kelompok eksperimen
maupun pada kelompok kontrol. Kemudian, jika intensitas pencahayaan dikurangi
pada kelompok eksperimen, produktifitas tetap meningkat baik pada kelompok
eksperimen maupun pada kelompok kontrol. Produktifitas baru menurun pada
kelompok eksperimen hanya ketika tingkat pencahayaan dikurangi sampai seperti
terang bulan dimalan hari (remang-remang). Apa yang dapat diungkap dari hasil
penelitian yang tidak seperti yang diperkirakan ini? Para enginners tidak
dapat mengungkapkan apa yang mereka saksikan dari penelitian tersebut, tetapi
menyimpulkan bahwa intensitas pencahayaan tidak berpengaruh langsung terhadap
produktifitas kelompok, dan “sesuatu yang lain” memiliki kontribusi terhadap
produktifitas kelompok, namun mereka tidak dapat menunjukkan dengan tepat,
“sesuatu yang lain” itu apa.
Pada tahun
1927 para enginners Western Electric tersebut bertanya kepada Elton
Mayo, profesor dari Harvard University, dan melakukan study bersama.
Kerjasama tersebut berlangsung sampai dengan 1932. Selama kurun waktu tersebut
melakukan sejumlah eksperimen tentang berbagai desain pekerjaan. Perubahan pada
hari kerja, lama minggu kerja, awal masa istirahat, dan rencana gaji individual
dan kelompok. Misalnya, mereka melakukan satu eksperimen yang didesain untuk
mengevaluasi satu kelompok yang dibayar dengan sistem insentif dan pengaruhnya
terhadap produktifitas kerja. Hasilnya mengindikasikan bahwa rencana insentif
kurang memberikan pengaruh terhadap produktifitas kerja, dibandingkan dengan
pemberian tekanan pada kelompok, penerimaan, dan keamanan kerja. Para peneliti
menyimpulkan bahwa norma-norma sosial dan standar-standar kelompok adalah kunci
utama untuk meningkatkan perilaku kerja individual.
Dalam ‘Hawthorne Experiment’ penelitian
oleh Pugh & Hickson (1989) dan Elton Mayo (1933) menyimpulkan para peneliti
menyimpulkan bahwa norma-norma sosial dan standar-standar kelompok adalah kunci
utama untuk meningkatkan perilaku kerja individual. Para akademisi umumnya
setuju bahwa hawthorne studies merupakan hasil penelitian yang hebat
yang memberikan petunjuk pada kepercayaan manajemen terhadap peran perilaku
manusia di organisasi. Mayo menyimpulkan bahwa perilaku dan berbagai kebutuhan
individu adalah saling berhubungan, kelompok secara signifikan mempengaruhi
perilaku individual. Standar kelompok secara signifikan mempengaruhi hasil
kerja individual, dan uang merupakan faktor yang kurang memberikan pengaruh
terhadap perilaku individual dibandingkan dengan standar-standar kelompok.
Kesimpulan ini menjadi rujukan baru dalam pengelolaan faktor-faktor perilaku
manusia dalam organisasi dan dalam pencapaian tujuan. Jika manajer memberikan
lingkungan kerja yang cocok dan mempertimbangkan setiap kebutuhan pribadi maka
akan memberikan rasa kepuasan, daripada gaji yang lebih tinggi atau bonus.
Pekerja didorong untuk lebih bekerja keras dan efisien. Jika manager sebuah
perusahaan tidak melihat mempertimbangkan sebuah individu dari sisi kebutuhan
dan keinginan dan memberlakukan hal yang sama akan muncul istilah“maximise
payment and minimise effort”. Hal ini membuat perusahaan akan mendapatkan
sorotan mengenai insentif dan akan muncul sebuah pertanyaan bagaimana insentif yang tidak bersifat finasial akan
menjadi yang terpenting dalam dunia bisnis kedepannya.
Bagaimana di
Starbucks? Dalam bukunya Starbucks Experience dijelaskan bahwa Starbucks
memiliki budaya perusahaan unik yang meningkatkan perilaku kerja individual.
Para pemimpin dalam perusahaan ini menciptakan sebuah budaya unik bagi para
karyawan di mana pemberdayaan, kewirausahaan, kualitas, dan pelayanan dianggap
sebagai nilai-nilai perusahaan.
Howard Schultz
membangun budaya Starbucks yang banyak memenangi penghargaan. Starbucks
Corporation go public pada Juni 1992. Di hari pertama perdagangan, sahamnya
ditutup pada $21,50 naik dari harga pembukaan $17. Dan Schultz membagikan
keuntungan dalam bentuk saham kepada siapapun yang bekerja di perusahaan selama
20 jam per minggu atau lebih termasuk mereka yang berdiri di belakang konter di
kedai Starbucks lokal. Dengan adanya pembagian ini para karyawan menjadi
tersadar akan pentingnya hubungan langsung antara kerja keras mereka dan
ksuksesan bisnis perusahaan.
Namun kenikmatan
yang diterima karyawan Starbucks jauh melebihi sekadar saham dan asuransi
kesehatan. Para karyawan juga diberi pelatihan ekstensif dalam hal pengetahuan
produk, prinsip panduan untuk sukses, pemberdayaan personal, dan pentingnya
menciptakan pengalaman yang hangat bagi para pelanggan. Starbucks secara
konsisten lebih banyak mendanai pelatihan dari iklan.
Tingkat retensi
karyawan yang berhasil dicapai Starbucks, sebelumnya tidak pernah ditemukan
dalam sektor restoran cepat saji. Menurut sejumlah laporan, tingkat turnover
pegawai Starbucks lebih rendah 120% dibanding tingkat rata-rata dalam industri
tersebut. Menurut Hewitt Associates Starbucks Partner View Survey tingkat
kepuasan kerja karyawan Starbucks mencapai 82%.
Pemimpin Starbucks berkomitmen
untuk menyediakan sebuah lingkungan kerja yang hebat dan memperlakukan satu
sama lain dengan penuh rasa hormat dan bermartabat. Rasa hormat yang diberikan
pemimpin pada karyawan sering tercermin dalam cara karyawan menghormati dan
menciptakan pengalaman antara satu sama lain.
Delegasi
Tingkat
tertinggi di dalam peran serta karyawan (empowerment) ada delegasi, yaitu suatu
proses untuk memberikan wewenang untuk pengambilan keputusan kepada bawahan.
Berikut faktor
– faktor yang terkait dengan delegasi yang
baik, yaitu :
1. Karyawan
memiliki kompetensi
2. Karyawan
juga terlibat dalam tugas manager
3. Manager
memiliki hubungan yang berkelanjutan dan positif dengan karyawannya
4. Bawahan
juga berperan sebagai supervisor
Kesimpulan
1. Starbucks adalah kafe kopi
didirikan oleh Jerry Baldwin, Zev Siegl, and Gordon Bowker (kemudian diambil
alih oleh Howard
Schultz) pada tahun
1971 yang bermula dari Seattle sampai akhirnya pada tahun 2002 berkembang
menjadi 5688 outlet yang tersebar di 30 negara.
2. Selain menyediakan kualitas kopi
yang baik Starbucks juga dikenal dengan pelayanan konsumennya yang memuaskan.
Hal ini didukung terutama karena Starbucks sangat memperhatikan kepuasan
karyawannya. Dimana karyawan Starbucks atau yang lebih dikenal sebagai 'barista’.
diposisikan menjadi team terdepan dan mengetahui apa kebutuhan dari konsumen.
3. Besaran Turnover untuk pegawai di
Starbucks berkisar 65%, dan untuk level manager sebesar 25%. Lebih rendah
dibawah rata-rata industri yang sejenis. Dalam Starbucks dan industri lain yang
sejenis sistem sudah berjalan dengan baik sehingga siapapun karyawan akan
keluar atau masuk tidak akan menjadikan suatu masalah di Starbucks.
4. Dalam buku "The Starbucks
Experience" perusahaan Starbucks memberikan 5 prinsip yang ditanamkan
kepada karyawan yaitu : Lakukan dengan Cara Anda – (Make it Your Own), Semuanya Penting – (Everything Matters), Kejutan dan Kesenangan – (Surprise and Delight), Terbuka Terhadap Kritik – (Embrace Resistance), Leave Your Mark. Prinsip ini mendukung
motivasi karyawan Starbucks untuk memberikan pelayanan terbaik bagi
konsumennya.
5. Teori
motivasi Hezberg digunakan sebagai pendekatan bagaimana Starbuck memotivasi
karyawannya. Dalam teori motivasi Hezberg dijabarkan faktor-faktor yang
mempengaruhi Dissatisfaction yaitu : Company policy, Supervision, Relationship
with Boss, Work conditions, Salary dan Relationship with Peers. Sedangkan
faktor-faktor yang mempengaruhi Satisfaction adalah : Achievment, Recognition, Work itself, Responsibility, Advancement dan
Growth.
6.
Dalam Hawthorne Studies menyebutkan
bahwa standar kelompok secara signifikan mempengaruhi hasil kerja individual,
dan uang merupakan faktor yang kurang memberikan pengaruh terhadap perilaku
individual dibandingkan dengan standar-standar kelompok. Jika manajer atau
perusahaan memberikan lingkungan kerja yang cocok dan mempertimbangkan setiap
kebutuhan pribadi maka akan memberikan rasa kepuasan, daripada gaji yang lebih
tinggi atau bonus. Di Starbucks, para pemimpin berkomitmen untuk menyediakan
sebuah lingkungan kerja yang hebat dan memperlakukan satu sama lain dengan
penuh rasa hormat dan bermartabat. Rasa hormat yang diberikan pemimpin pada
karyawan sering tercermin dalam cara karyawan menghormati dan menciptakan
pengalaman antara satu dengan yang lain.
Referensi
- Robert Kreitner dan Angelo Kinicki, ” Organizational
Behavior,”
McGraw-Hill, United States 2010.
- Joseph A. Michelli, “The
Starbucks Experience – 5 Prinsip untuk Mengubah Hal Biasa menjadi Luar
Biasa,” Penerbit Esensi (Erlangga Group) 2007.
- http://www.netmba.com/mgmt/ob/motivation/herzberg/