Jumat, 22 Juni 2012

Business Ethics Study Case : PT Astra Daihatsu Motor menarik kembali 3.227 unit Sirion

Sebuah perusahaan yang profit oriented harus juga mengutamakan etika dalam berbisnis salah satu kasus yang akan dibahas adalah saat PT Astra Daihatsu Motor menarik kembali 3.227 unit Sirion dikarenakan terdapat cacat produksi, dan PT Astra Daihatsu Motor berani bertanggung jawab dengan melakukan recall demi kemanan dan kenyamanan penggunanya.

Untuk artikel lengkapnya dapat dibaca di sini http://www.bekasi.suarajabar.com/ekonomi/bisnis/144-pt-astra-daihatsu-motor-menarik-kembali-3227-unit-sirion

Ada beberapa pertanyaan yang muncul :

Pertanyaan 1 : Jelaskan apakah tindakan menarik kembali produk Daihatsu Sirion itu merupakan tindakan yang tepat bagi bisnis. Apakah langkah bisnis tersebut sudah sesuai dengan prinsip untuk mengutamakan caveat vendor bukannya caveat emptor? Jelaskan argumentasi anda.

Karena adanya tetesan air yang keluar dari selang pembuangan air AC yang menetes bagian steering rack dalam jangka panjang berpotensi menimbulkan karat dan pada kondisi terburuk fungsi steering rack dapat terganggu maka PT Astra Daihatsu Motor (ADM) menarik kembali (recall) 3.227 unit Sirion yang diproduksi sejak Januari 2008 - Maret 2011. Tindakan untuk menarik kembali produk (recall) Daihatsu Sirion merupakan tindakan yang tepat bagi bisnis. Dan sudah sesuai dengan prinsip yang mengutamakan caveat vendor (penjual yang perduli) dan bukannya caveat emptor (pembeli yang perduli).

Perusahaan memang seharusnya bersifat lebih perduli terhadap produk yang dihasilkannya : apakah aman bagi penggunanya, memberikan informasi yang jelas (mengenai tata cara penggunaan produk, mungkin informasi berapa kali diperlukan untuk perawatan untuk produk mobil, dan reminder kepada pengguna apabila telah jatuh tempo untuk perawatan berkala) karena asumsinya konsumen dan produsen tidak dalam posisi yang sama karena berbagai faktor. Karena keahlian dan pengetahuannya, produsen cenderung berada dalam posisi lebih menguntungkan dibanding konsumen.  Terlebih lagi mobil-mobil produksi sekarang sudah serba terkomputerisasi dan perawatannya pun tidak dapat dilakukan secara manual tetapi harus menggunakan alat terkomputerisasi tersendiri untuk melakukan penge-check-an bagian-bagian yang mengalami  kerusakan. Untuk perawatan berkala pun harus dilakukan di bengkel resmi yang bekerja sama dengan produsen mobil tersebut.

Mobil banyak digunakan oleh orang Indonesia khsususnya di Jakarta untuk bekerja, berbelanja, berwisata dan bepergian keluar kota sehingga utilitasnya pun sangat tinggi. Dan penggunanya pun tidak dapat dikatakan sedikit jumlah kendaraan bermotor  pribadi roda empat tahun 2009 saja terdapat 17.350.000 kendaraan. Sekali saja terjadi cacat produksi dapat berakibat fatal bagi penggunanya dan berakibat fatal juga bagi perusahaan apabila tidak dilakukan penanganan serius.

Terlebih lagi kecenderungan orang Indonesia sebagai pemakai kurang memperhatikan dari sisi perawatan, berapa persen dari pemilik mobil yang membaca secara detil buku manual sebelum menggunakan mobil, berapa persen dari pembeli mobil yang paham akan mesin mobil, tentunya prosentasenya sangat kecil sekali. Kecenderungannya pemakai di Indonesia sangat bergantung sekali dengan kualitas produksi dari produsen. Sehingga apabila terdapat sedikit saja cacat produksi yang disembunyikan oleh produsen mobil tentu saja dapat berakibat fatal bagi pengguna kendaraan.

Tetapi meskipun begitu produsen dapat saja terkena getahnya apabila menyembunyikan cacat produksi, antara lain jika terjadi kecelakaan karena kegagalan produk maka kepercayaan konsumen terhadap produk pun akan menurun. Implikasinya ketidakpercayaan konsumen akan merambah ke produk-produk yang lain bahkan menjadi ketidakpercayaan terhadap sebuah merk secara keseluruhan. Akibatnya justru merugikan produsen sendiri dalam jangka panjang.  Dan produsen harus mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk memperbaiki kembali tingkat kepercayaan dari konsumen.

Masih teringat kasus Nissan Juke yang menabrak tiang listrik, terbakar habis di depan Gedung Mid Plaza, Sudirman, Jakarta Pusat, dan menewaskan pengemudinya Olivia Dewi, seorang gadis muda berumur 17 tahun, bulan Maret yang lalu. Semenjak saat itu penjualan Nissan Juke mengalami penurunan drastis dan produk tersebut di cap sebagai produk yang kurang safety meskipun tidak terdapat bukti yang terungkap bahwa penyebab kecelakaan tersebut dikarenakan kegagalan produk. Atau kasus jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 di gunung salak bulan Mei yang lalu. Setelah kejadian tersebut para operator penerbangan di seluruh dunia akhirnya membatalkan transaksi pembelian pesawat Sukhoi yang mungkin nilainya dari milyaran sampai trilyunan rupiah.

Beberapa industri pertambangan, dan juga industri manufaktur memang seharusnya sangat memperhatikan keselamatan kerja. Begitu pula dengan industri kendaraan bermotor. Dengan mobilitas yang sangat tinggi akhir-akhir ini mobil dan motor sudah menjadi kebutuhan pokok bagi setiap orang.

Di industri mobil keselamatan pengguna adalah hal yang utama. Cacat produksi pada mobil dapat berakibat fatal dan dapat mencelakakan pengguna mobil itu sendiri dan pengguna lain di jalan raya.  Menurut fakta yang diambil di negara paman Sam Kecelakaan dan kerugian karena produk: di AS 3.000.000 orang terluka, 2.000.000 orang masuk RS, 500.000 orang cacat permanen karena produk mainan, perkakas rumah-tangga, & alat olah-raga; Kecelakaan kendaraan bermotor (th 2003): 56.270 per minggu, kematian 117 per hari, kerugian finansial $479 juta per hari.

Dari jual-beli mobil bekas banyak pembeli-pembeli yang mengurunkan niatnya untuk membeli mobil bekas dan akhirnya memilih membeli mobil baru dikarenakan ketidakpercayaan terhadap kualitas mobil-mobil bekas tersebut. Di sini dapat dilihat bahwa kepercayaan terhadap kualitas mobil baru masih tinggi. Sekali kepercayaan itu dirusak maka butuh waktu yang lama dan mdal yang besar untuk mengembalikan kepercayaan tersebut.

Recall pun bukan sebuah akhir dari bisnis mobil, diluar negeri recall adalah sebuah komitmen perusahaan otomotif untuk menjaga kualitasnya. Hampir mungkin semua perusahaan otomotif dunia sudah pernah melakukan recall. Dan semuanya dilakukan untuk keamanan pengguna, menjaga kualitas, dan keberlanjutan di dalam bisnis.

Pertanyaan 2 : Adakah adagium "Let's the seller take care" seperti dalam kasus ini dapat diterapkan di dalam lingkup bisnis yang memproduksi jasa? Uraikan contoh-contoh kasus yang anda ketahui dan bagimana pengaruhnya terhadap integritas produk di masa mendatang.

Dalam industri jasa adagium “Let’s the seller take care” tentu saja harus diterapkan. Sebagai salah contoh industri jasa saya ambil pendekatan produk training yang kami lakukan di floatway. Perusahaan kami PT. Floatway Systems adalah perusahaan yang menghasilkan produk dan juga perusahaan yang bergerak di bidang jasa. Di bidang produk floatway menghasilkan alat yang digunakan oleh industri otomotif untuk melakukan checking pada kabel harness. Sedangkan di bidang jasa kami mengadakan training untuk para engineer di bidang telekomunikasi seluler. Kebetulan kami semua berlatar belakang dari Teknik Elektro dan melihat ada peluang yang bagus di kedua bisnis tersebut.

Selanjutnya akan diuraikan dalam artikel ini mengapa pada industri jasa juga harus menerapkan adagium “Let’s the seller take care” dilihat dari sisi penyedia jasa pendidikan (sekolah, perguruan tinggi dan profesional training).

Setiap konsumen pasti mengharapkan sebuah output atau sebuah value yang diinginkan apabila membeli sebuah barang atau jasa. Dalam industri jasa pendidikan, seminar atau training para pembelajar atau peserta pasti menginginkan output tertentu. Beberapa output yang diinginkan antara lain sebagai peningkatan kelas keilmuan seseorang, tambahan pengetahuan, penunjang karir, sebagai pengingat kembali atau  value-value lainnya.

Kemudian dari sisi penyelenggara jasa pendidikan baik itu sekolah, perguruan tinggi ataupun training juga diwajibkan memberikan informasi “kira-kira output apa saja yang dapat diperoleh oleh pengguna setelah melalui training ini.” Dan melakukan cross check setelah training atau perkuliahan apakah benar ilmu yang telah dipelajari di training atau perkuliahan outputnya sesuai dengan yang diharapkan.

Pendidikan Sekolah

Dimulai dari bangku pendidikan sekolah seharusnya para pelaku pendidikan sekolah (terutama SMU/SMK) memberikan informasi dan arahan apa yang akan diperoleh apabila mempelajari sesuatu hal tertentu. Dalam pendidikan saat ini sepertinya anak-anak didik kita dicekoki dengan rumus-rumus matematika, fisika yang luar biasa banyaknya dan tidak tahu apa kegunaannya padahal tidak semua anak-anak memiliki kemampuan yang sama di bidang tersebut mungkin ada anak yang tidak kuat di analisis matematis tetapi kuat di hafalan.

Tidak selamanya orang-orang yang masuk ke ke kelas IPS lebih rendah kastanya daripada mereka yang masuk ke kelas IPA. Padahal kita diketahui penggerak dan petinggi bangsa ini adalah dari mereka yang berasal dari latar belakang non eksakta (non IPA).

Pemahaman-pemahaman seperti inilah yang harus diberikan oleh para pelaku pendidikan baik guru atau pihak yang lain di sekolah. Sehingga murid-murid yang masuk ke jurusan IPS tidak minder dan memantapkannya untuk menekuni bidang non eksakta di jenjang yang lebih tinggi. Penulis sendiri sebenarnya berlatar belakang dari teknik elektro dan sangat menyukai IPA saat di bangku sekolah tetapi setelah mengikuti kuliah S2 di MM UGM terbuka wawasannya untuk melihat dunia dari kacamata yang lebih luas.

Perguruan Tinggi

Di bangku perkuliahan kasus lain  terjadi setelah beberapa tahun bergulat di bangku kuliah mahasiswa semester akhir biasanya tidak tahu bagaimana akan melanjutkan hidupnya. Tidak ada link and match antara dunia industri dengan dunia perkuliahan.

Di sinilah adagium "Let's the seller take care" diperlukan sehingga perguruan tinggi tidak berlomba-lomba untuk “banyak-banyakan” jumlah mahasiswa yang diluluskan per tahun dan akhirnya menumpuk menjadi pengangguran intelektual karena tidak terdapatnya lowongan kerja yang memadai.  Perguruan tnggi juga berkewajiban memberikan pengetahuan tentang dunia kerja, ketrampilan spesifik yang diperlukan di dunia industri atau riset bersama antara dunia kampus dan dunia industri, atau justru lebih baik mempersiapkan menjadi entrepreneur muda yang memiliki tingkat intelektualitas tinggi.

Salah satu cara untuk memberikan informasi dunia kerja antara lain dengan mendatangkan alumni-alumni ke lingkungan kampus. Para alumni dapat bercerita tahapan-tahapan apa yang harus disiapkan untuk sukses karir di industri tertentu, mengadakan kerja praktek, mengadakan company visit supaya mahasiswa mengerti bagaimana bisnis proses di perusahaan tertentu dan mempersiapkan sejak dini di bangku perkuliahan. Dan juga dapat mengadakan riset bersama antara kampus dengan universitas.

Banyak sekali hasil-hasil skripsi S1, thesis S2 bahkan disertasi S3 yang akhirnya hanya teronggok begitu saja di perpustakaan kampus, dengan kerjasama link and match akan terdapat keuntungan bagi semua pihak. Di sisi perusahaan mendapatkan keuntungan karena problem di organisasinya terpecahkan berdasarkan penelitian yang terstruktur. Pihak universitas mendapat informasi baru dari dunia praktisi dan mahasiswa pun paling tidak merasa puas karena penelitian yang digunakannya bisa secara nyata digunakan di dunia industri.
Hal ini bisa tercapai apabila pemangku kebijakan pendidikan perguruan tinggi benar-benar menerapkan caveat vendor sehingga para mahasiswa tidak khawatir dengan aplikasi ilmunya yang didapatkan di bangku kuliah.

Beberapa jurusan-jurusan favorit di bangku kuliah rata-rata dikarenkan daya serap lulusan jurusan tersebut di industri tinggi. Jurusan-jurusan favorit tersebut antara lain beberapa jurusan teknik, jurusan ekonomi , jurusan akutansi, jurusan kesehatan dan kedokteran. Sudah dapat diprediksi lulusan dari jurusan-jurusan tersebut cepat mendapatkan pekerjaan setelah lulus. Padahal masih banyak profesional-profesional lain diluar bidang-bidang tersebut yang apabila ditekuni dapat memberikan masa depan yang baik.

Training Professional

Terakhir akan kita bahas bagaimana pentingnya adagium "Let's the seller take care" diperlukan didalam Training Professional. Banyak sekali jenis-jenis training professional saat ini dan beberapa lembaga atau organisasi umumnya menyasar kepada materi yang sangat spesifik, materi yang setelah training dilakukan selama beberapa hari atau beberapa minggu peserta diharapkan dapat langsung melakukan suatu pekerjaan secara spesifik.

Banyak perusahaan-perusahaan yang memiliki tempat training mandiri sehingga semua karyawan baru akan langsung paham yang harus dilakukan di pekerjaan sehari-harinya. Dalam training output yang diharapkan sangatlah jelas, tidak bertele-tele dan tidak berpanjang lebar tetapi sangat spesifik. Meskipun begitu tetap saja adagium  "Let's the seller take care" perlu dievaluasi secara terus menerus sehingga silabus di dalam training tidak jauh melenceng dari output yang diharapkan.

Tidak ada komentar: