Sabtu, 24 Agustus 2013

Analisa Ekonomi Biaya Tinggi Terhadap Daya Saing Ekonomi



Media Indonesia, Kamis, 04 Oktober 2012 00:01 WIB    

Kerugian akibat tutupnya pabrik yang ditinggal aksi para buruh seharian, kemarin, mencapai triliunan rupiah.

RATUSAN ribu buruh di sejumlah daerah di Tanah Air kembali turun ke jalan, kemarin. Mereka menuntut adanya aturan yang menjamin kehidupan layak dan kesejahteraan bagi buruh.

Itu merupakan aksi buruh besar-besaran kedua kalinya dalam kurun delapan bulan terakhir. Aksi serentak sebelumnya digelar pada 1 Mei 2012 lalu saat peringatan Hari Buruh Sedunia.

Ekonom Didik J Rachbini melihat aksi buruh tersebut menunjukkan seriusnya masalah perburuhan di Indonesia. Dia mendesak pemerintah segera membersihkan biaya siluman untuk perusahaan yang menjadi akar persoalan kesejahteraan buruh sulit diwujudkan.

"Tuntutan buruh mengenai perbaikan kesejahteraan tersandera pemerintah yang menciptakan birokrasi berbelit-belit dan iklim usaha penuh biaya siluman," tutur Didik saat dihubungi, kemarin.

Rantai birokrasi berbelit dan besarnya biaya siluman menjadikan pengusaha harus merogoh kocek lebih mahal untuk menjalankan bisnis. Akibatnya, tukas Didik, perusahaan tidak dapat membayar pekerjanya dengan upah lebih layak.

Ketua Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Indonesia itu mengatakan hasil penelitian LP3E Kadin menunjukkan besarnya biaya siluman mencapai 20%-30% dari total ongkos produksi. "Kalau itu dihilangkan, upah bisa naik dua kali lipat.

Jadi, selain birokrasinya menghabiskan APBN yang besar, pemerintah juga bikin ekonomi biaya tinggi." Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi membenarkan pernyataan Didik. Menurut Sofjan, iklim usaha yang penuh ketidakpastian dan ekonomi biaya tinggi telah merusak sendi-sendi ekonomi nasional.

Terkait dengan tuntutan penghapusan sistem kerja alih daya (outsourcing), Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar menyatakan bakal mengeluarkan peraturan menteri yang mengatur hubungan kerja langsung antara pekerja dan pengusaha tanpa perantara. Hal itu mengakibatkan penghentian perusahaan alih daya bisa dilakukan dalam waktu sedikitnya enam bulan sejak peraturan menteri tersebut ditetapkan.

"Kita butuh masa transisi. Butuh waktu paling tidak enam bulan atau satu tahun. Peraturan menteri ini baru selesai pekan ini," kata Muhaimin.

Triliunan rupiah


Para buruh dari berbagai serikat pekerja dan beragam aliansi dalam demonstrasi kemarin menuntut dihapuskannya sistem kerja alih daya, kenaikan upah minimum agar sesuai dengan kebutuhan hidup layak 2012, dan adanya kepastian jaminan kesehatan.

Akibat aksi tersebut, sejumlah ruas jalan di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Karawang, Sidoarjo, Mojokerto, Bandung, Medan, dan sejumlah wilayah lainnya tidak bisa dilalui untuk beberapa jam. Ratusan pabrik pun tutup.

Kerugian akibat mogok kerja buruh selama sehari, kemarin, diperkirakan mencapai triliunan rupiah. "Setahun omzet industri makanan dan minuman, misalnya, sekitar Rp700 triliun. Kalau semuanya mogok, dibagi 365 hari saja, bisa Rp2 triliun," ujar Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Yusuf Hadi di Jakarta, kemarin.

Ketua Hubungan Industrial Dewan Pengurus Kota Asosiasi Pengusaha Indonesia Jakarta Timur Bambang Adam menambahkan, kerugian akibat mogok buruh di Kawasan Industri Pulo Gadung (KIP), Jakarta, mencapai sekitar Rp400 miliar. "Terdapat 373 industri skala menengah ke atas yang tidak berproduksi di KIP. Kerugian rata-rata perusahaan sekitar Rp1 miliar. Kalau dikalikan, kira-kira hampir Rp400 miliar kerugiannya." (Bug/Ssr/SM/KG/Wta/*/X-7)

Gayatri Soeroyo, gayatri@mediaindonesia.com


Pertanyaan:

  1. Mengapa persoalan Ekonomi Biaya Tinggi menurunkan daya-saing ekonomi nasional secara keseluruhan. Apakah yang dapat dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah dan kalangan bisnis untuk memecahkan masalah ini. Apakah alternatif tindakan kolektif diantara pelaku bisnis yang dapat menciptakan lingkungan bisnis yang sehat dan mencegah KKN (kolusi, korupsi, nepotisme) dengan para pejabat pemerintah?
  2. Persaingan bisnis yang kurang sehat di suatu negara dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakatnya. Dan inilah yang menyebabkan definisi overhead cost dalam bisnis yang seringkali kabur. Menurut Anda, untuk terciptanya sistem persaingan yang sehat, apa saja komponen overhead cost yang dapat diperbolehkan dan mana yang tidak? Jelaskan dengan contoh-contoh konkret. Kasus perusahaan tertentu dapat diangkat untuk menjawab pertanyaan ini. 



Analisa Pertanyaan

Tidak Adil Bagi Para Pengusaha

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai persoalan ekonomi biaya tinggi yang menjadi salah satu alasan buruh untuk menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) mari kita lihat beberapa dampak kenaikan UMP bagi perusahaan. Sebanyak 1312 Perusahaan mengajukan penundaan upah minimum pada tahun 2013 menurut tulisan yang dimuat oleh Harian Kompas, Sabtu, 22 Desember 2013. Para pengusaha yang mempekerjakan 975.328 buruh ini kewalahan menghadapi kenaikan drastis upah minimum provinsi (UMP). Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang diwakilkan oleh ketua Apindo Sofjan Wanandi menyampaikan pada wawancaranya bahwa pemerintah harus memberikan jalan keluar kalau tidak satu juta orang akan terancam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dalam pembicaraan selanjutnya pemerintah diminta untuk memperhatikan peranan industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) serta sepatu yang padat karya. Industri TPT menghasilkan devisa senilai 13 miliar dollar AS (Rp 125,4 trilliun) dan sepatu 3,8 miliar dollar AS (Rp 36,6 trlliun).

Bagi pengusaha kecil dan mikro upah buruh sebesar 2,2 juta adalah sangat berat. Menurut beberapa pengusaha terlalu jauh jarak kenaikannya dari UMP 2012. Beberapa pengusaha menyarankan seharusnya kenaikan upah UMP bisa dilakukan juga secara bertahap paling tidak menyentuh angka 2 juta terlebih dahulu sebelum menyentuh angka 2,2 juta.

Dalam sebuah sesi kuliah yang diampu oleh Prof. Dr. Jogiyanto Hartono, MBA., Akt mengatakan bahwa setiap keputusan pemerintah seharusnya tidak hanya mendukung konsumen atau buruh tetapi juga melindungi pengusaha itu sendiri. Kalau tidak akan sama seperti yang dihadapi oleh industri telekomunikasi seluler saat ini dimana pemerintah menekan agar biaya komunikasi di konsumen menjadi murah tetapi tidak diddukung dengan strategi yang melindungi para pengusaha akibatnya banyak produk-produk seluler yang dulu sangat digembar-gemborkan menjadi tidak terdengar gaungnya saat ini contohnya seperti Telkom Flexi, Indosat StarOne dan Esia. Ini adalah akibat karena pemerintah tidak melindungi para pengusahanya.
Ekonomi Biaya Tinggi, Siapakah yang harus bertanggungjawab?
Pihak buruh mungkin dapat menekan perusahaan dan pemerintah untuk menaikkan upah buruh, di sisi lain para pengusaha tidak dapat menekan biaya siluman yang terkadang dilakukan oleh oknum-oknum pemerintah itu sendiri. Akibatnya ongkos produksi perusahaan menjadi naik dan harga barang produksi pun menjadi naik. Banyak pengusaha yang tidak dapat bersaing pun akhirnya gulung tikar atau memindahkan pabriknya keluar negeri. Kalau sampai ini terjadi pemerintah dan pihak buruh sendiri yang akhirnya akan mengalami kerugian. Di satu sisi buruh melangami kerugian karena kehilangan pekerjaan dan di sisi lain pemerintah juga kehilangan pendapatan daerah dari pajak hasil usaha.

Toh apabila memang benar banyaknya biaya siluman untuk ongkos produksi pihak siapakah yang bisa menekan biaya siluman ini? Apakah perusahaan? Tentu saja yang bertanggung jawab adalah pemerintah itu sendiri. Tetapi dalam kasus ini yang mengalami kerugian besar adalah para pengusaha. Pertama mengalami kerugian karena aktivitas produksi yang berhenti selama berlagsungnya demo dan kedua adalah peningkatan biaya upah yang tidak diringi dengan kebijakan yang dapat menurunkan biaya siluman-siluman tadi.

Upaya pencegahan Korupsi
Beberapa upaya sudah dilakukan pemerintah untuk mencegah terjadinya transaksi korupsi antara pengusaha dengan pejabat pemerintahan. Salah satunya adalah adanya LPSE LKPP (Layanan Pengadaan Secara Elektronik Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah). LPSE adalah unit kerja yang dibentuk di seluruh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/lnstitusi Lainnya (K/L/D/I) untuk menyelenggarakan sistem pelayanan pengadaan barang/jasa secara elektronik serta memfasilitasi ULP/Pejabat Pengadaan dalam melaksanakan pengadaan barang/jasa secara elektronik.
Pengadaan barang/jasa secara elektronik akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat, memperbaiki tingkat efisiensi proses pengadaan, mendukung proses monitoring dan audit dan memenuhi kebutuhan akses informasi yang real time guna mewujudkan clean and good government dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.

Layanan yang tersedia dalam Sistem Pengadaan Secara Elektronik saat ini adalah e-tendering yang ketentuan teknis operasionalnya diatur dengan Peraturan Kepala LKPP Nomor 1 Tahun 2011 tentang Tata Cara E-Tendering. Selain itu LKPP juga menyediakan fasilitas Katalog Elektronik (e-Catalogue) yang merupakan sistem informasi elektronik yang memuat daftar,jenis, spesifikasi teknis dan harga barang tertentu dari berbagai penyedia barang/jasa pemerintah, proses audit secara online (e-Audit), dan tata cara pembelian barang/jasa melalui katalog elektronik (e-Purchasing)[1].
Tetapi ada kelemahan pada sistem pelelangan secara elektronik ini yaitu poin utama yang menjadi pemenangan tender hanya dilihat dari sisi harga dan bagaimana perusahaan-perusahaan penyedia menyaipakan dokumen secara lengkap. Tetapi sulit untuk mengukur kapabilitas penyedia barang atau jasa. Sistem ini dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan sama sekali bertemunya antara pemilik proyek dan pelaksana proyek. Sedang kapabilitas kadang-kadang membutuhkan adanya saling komunikasi antara pemilik proyek dengan pelaksana proyek.

Langkah kedua adalah mengadakan kemudahan dan transparansi dalam pengurusan-pengurusan dokumen yang berhubungan dengan usaha atau bisnis. Indikator Ease Of Doing Business yang diteliti oleh World Bank dapat menjadi salah satu indikator pemerintah dalam mengupayakan transparansi untuk mencegah terjadinya korupsi. Sebelas faktor dalam Ease of Doing Business adalah (1) memulai bisnis, (2) berurusan dengan izin konstruksi, (3) mendapatkan listrik, (4) pendaftaran properti, (5) mendapatkan kredit, (6) perlindungan investasi, (7) pembayaran pajak, (8) perdagangan lintas negara, (9) penegakkan kontrak, (10) penyelesaian kebangkrutan dan (11) mempekerjakan karyawan. Penelitian ini dilakukan di 185 negara mulai dari Afghanistan sampai Zimbabwe. Indonesia secara global menduduki peringkat 130 pada tahun 2013 dan menduduki peringkat 128 pada tahun 2012.
Dengan adanya reformasi untuk menaikkan peringkat di indikator ini maka pemerintah secara langsung akan menurunkan adanya transaksi korupsi antara pejabat pemerintah dengan pengusaha. Kenapa? Karena dalam indikator ini yang diukur salah satunya adalah seberapa cepat pengurusan dokumen dapat terselesaikan. Dengan sistem IT yang transparan pengurusan dokumen sebenarnya dapat diselesaikan dengan cepat tanpa perlu terjadinya hubungan antara pihak pengusaha dengan pihak pemerintah. Yang seringkali mempercepat waktu pengerjaan dokumen menjadi salah satu alasan oknum pemerintahan untuk meminta uang suap.

Overhead Cost

Yang perlu dipahami disini sebenarnya adalah definisi dari overhead cost. Overhead cost sendiri sebenarnya adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan diluar upah kerja pegawai, biaya material dan pengeluaran lainnya yang langsung berhubungan dengan produksi barang atau jasa perusahaan tersebut. Sebagai contoh adalah perusahaan kecil-kecilan yang saya lakukan (PT Floatway Systems – www.floatway.com)  overhead cost yang harus kami keluarkan adalah fee marketing, biaya sewa kantor, tagihan listrik, tagihan internet dan tagihan telepon. Kenapa biaya sewa kantor, tagihan listrik, tagihan internet dan tagihan telepon termasuk dalam overhead cost dan bukan termasuk dalam direct cost antara lain disebabkan karena ada lebih dari satu bidang usaha dalam  perusahaan kami sehingga sulit apabila biaya-biaya tersebut dimasukkan ke dalam direct cost meskipun dapat saja dilakukan dengan perhitungan yang lebih rumit. 

Dalam hal yang berhubungan dengan korupsi banyak oknum-oknum pemrintahan yang istilahnya meminta jatah kepada pengusaha agar usahanya dilancarkan. Inilah overhead cost yang sebenarnya tidak diperbolehkan. Di sisi lain ada overhead cost yang berupa fee marketing bagi orang-orang yang menginformasikan channel ke perusahaan kita atau mengenalkan produk kita ke relasinya yang membutuhkan, tentu saja overhead cost seperti ini diperbolehkan dan sangat dianjurkan untuk memperbesar market share dari perusahaan tersebut. Meskipun pada saat tender para pengusaha harus melalui dengan prosedur yang sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku.



[1] http://lpse.lkpp.go.id


Tidak ada komentar: