Kamis, 22 Agustus 2013

GBE Domestic Political Environment : Pengaruh Kebijakan Politik Dalam NegeriTerhadap Industri Pesawat Terbang Indonesia



Saat bioskop Indonesia sedang diramaikan dengan film Habibie & Ainun. Dari film tersebut kita dapat mengikuti bagaimana jalan cerita industri pesawat terbang di Indonesia mulai dari masa-masa kuliah Pak Habibie di Jerman, keputusan Presiden Suharto untuk membangun industri pesawat terbang di Indonesia, keberhasilan ujicoba pesawat N 250 sampai puncaknya Pak Habibie yang menjadi Presiden setelah Pak Harto turun, dan IPTN yang harus direkstrukturisasi.


Salah satu gambar yang menyayat hati adalah sewaktu Pak Habibie dan Ibu Ainun mengunjungi hanggar yang berisi pesawat N- 250 Krincing Wesi. Hanggar tersebut sepi, seakan ditinggalkan para karyawannya. Pak Habibie memutar baling-baling pesawat dan seakan menyesali karena begitu getolnya menciptakan pesawat tersebut, beliau sampai harus banyak meninggalkan keluarga. Air mata Pak Habibie jatuh karena pengorbanannya tampak sia-sia dengan penggambaran hanggar lengang yang seakan sudah ditinggalkan para karyawannya.1



Cikal Bakal Industri Pesawat Indonesia


PT. Dirgantara Indonesia (PTDI) didirikan pada 26 April 1976 dengan nama PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio dan BJ Habibie sebagai Presiden Direktur. Industri Pesawat Terbang Nurtanio kemudian berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) pada 11 Oktober 1985. Setelah direstrukturisasi, IPTN kemudian berubah nama menjadi Dirgantara Indonesia pada 24 Agustus 2000.


Dirgantara Indonesia pernah mempunyai karyawan sampai 16 ribu orang. Karena krisis ekonomi yang melanda Indonesia, Dirgantara Indonesia melakukan rasionalisasi karyawannya hingga menjadi berjumlah sekitar 4000 orang.2


N-2130 Masa Depan Industri Pesawat Indonesia


Pada 10 November 1995, bertepatan dengan terbang perdana N-250, Presiden Soeharto mengumumkan proyek N-2130. Soeharto mengajak rakyat Indonesia untuk menjadikan proyek N-2130 sebagai proyek nasional. N-2130 yang diperkirakan akan menelan dana dua milyar dollar AS (atau setara dengan 19 Trilyun dengan kurs saat ini) itu akan dibuat secara gotong-royong melalui penjualan dua juta lembar saham dengan harga pecahan 1.000 dollar AS. Untuk itu dibentuklah perusahaan PT Dua Satu Tiga Puluh (PT DSTP) untuk melaksanakan proyek besar ini.


Pesawat N-2130 adalah pesawat jet komuter berkapasitas 80-130 penumpang rancangan asli IPTN. Menggunakan kode N yang berarti Nusantara menunjukkan bahwa desain, produksi dan perhitungannya dikerjakan di Indonesia atau bahkan Nurtanio, yang merupakan pendiri dan perintis industri penerbangan di Indonesia.


Saat badai krisis moneter 1997 menerpa Indonesia, PT DSTP limbung. Setahun kemudian akibat adanya ketidakstabilan politik dan penyimpangan pendanaan, mayoritas pemegang saham melalui RUPSLB (Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa) 15 Desember 1998 meminta PT DSTP untuk melikuidasi diri.

Untuk preliminary design pesawat ini, IPTN telah mengeluarkan tenaga, pikiran, dan uang yang tak kecil. Dana yang telah dikeluarkan lebih dari 70 juta dollar AS (Setara dengan 675 milyar rupiah dengan kurs saat ini) yang sesuai keputusan RUPSLB, dana bagi ini selanjutnya dianggap sunk-cost atau dana yang tidak bisa dikembalikan lagi.3


Mati Suri


Keberadaan PT DI saat ini bisa dibilang memprihatinkan, perusahaan yang terletak di Bandung ini sedang memiliki utang dalam jumlah beberapa triliun. PT DI sempat mengalami kejayaan pada tahun 90-an dengan mampu menghasilkan produksi dan inovasi beberapa pesawat terbang kelas dunia ketika itu, kemunduran PT DI berawal pada sekitar tahun 2000 ketika IMF meminta kepada Indonesia untuk membatasi kucuran dana kepada PT DI karena dianggap akan mempengaruhi kestabilan ekonomi Indonesia yang saat itu masih dalam suasana krisis moneter. Keputusan pemerintah yang mematuhi permintaan dari IMF sangat disayangkan karena ketika itu PT DI justru sedang bergerak maju dan bahkan telah menerima banyak pesanan dari luar negeri untuk mulai memproduksi pesawat terbang.


Pembelian Pesawat Boeing oleh Maskapai Penerbangan Lion Air 


Penandatanganan perjanjian pembelian pesawat buatan Boeing oleh maskapai penerbangan nasional yaitu Lion Air terjadi pada perhelatan KTT ASEAN 2011 di Bali beberapa waktu yang lalu. Perjanjian ini bahkan dihadiri oleh Presiden Amerika Serikat Barrack Obama dan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton.

Peristiwa ini mengejutkan bagi beberapa pihak karena nilai perjanjianya sangat fantastis nilai total pembelian 230 pesawat jenis B737 ini mencapai 21,7 miliar USD (sekitar Rp195 Triliun). Bahkan terkesan fantastis bagi Boeing sendiri karena pembelian ini adalah kegiatan pembelian pesawat terbanyak dan nilai pembelian terbesar selama sejarah Boeing.


Rekor sebelumnya dilakukan oleh maskapai Emirates Airlines yang menandatangani perjanjian kerja senilai US$18 miliar (Rp161,28 triliun) untuk memasok maskapai sebanyak 50 pesawat.


Pesawat Boeing yang dibeli Lion itu terdiri dari kombinasi jenis 201 unit 737 MAX dan 29 unit 737-900 ER. Kesepakatan itu juga termasuk hak untuk menambah pembelian 150 pesawat.4
 

Menurut penulis sendiri Lion Air adalah maskapai yang mempunyai strategi sangat bagus mengingat minat masyarakat Asia terhadap kebutuhan transportasi menggunakan pesawat terbang sedang meningkat pesat. Sedangkan tarif yang diberikan cukup bersaing, dengan frekuensi penerbangan yang sering dan rute jalur penerbangan yang cukup lengkap. Untuk rute yang agak jauh Lion Air menggunakan pesawat boeing 737 untuk rute yang menengah Lion Air menggunakan pesawat ATR-72. Sedangkan untuk rute haji menggunakan boeing 747. 


Di sisi lain bagi industri pembuat pesawat terbang keputusan ini sangat disayangkan. Karena sebenarnya Indonesia  masih memiliki PT DI (Dirgantara Indonesia) yang sejak lama BUMN ini memang dikhususkan sebagai tempat untuk memproduksi pesawat terbang. Mungkin banyak orang akan mempertanyakan mengapa nilai uang yang begitu besar harus dibuang ke luar negeri bila di negeri sendiri kita mampu untuk membuat pesawat terbang sendiri dan sedang membutuhkan dana untuk membangkitkan kembali PT DI. Tetapi bagi Lion Air sendiri ini adalah keputusan bisnis dimana pembelian pesawat tersebut tidak dilakukan dengan uang sendiri alias melalui kredit melalui Bank Expor Amerika sehingga keputusan untuk menyerahkan sepenuhnya pembelian pesawat ke Boeing dikarenakan berbagai pertimbangan strategis mengingat Boeing sudah sangat paham tentang seluk beluk pesawat terbang dan dapat memproduksi pesawat yang tingkat keamanannya tinggi tetapi biaya operasionalnya rendah.


Meskipun begitu yang patut dipertanyakan adalah kebijakan pemerintah Indonesia. Pemerintah justru terkesan tidak peduli terhadap PT DI dan membiarkan Lion Air melakukan pembelian pesawat terbang kepada Boeing. 


Solusi Bersama

Ada baiknya bila perjanjian antara Lion Air dengan Boeing mampu pula untuk melibatkan PT DI di dalamnya. Bisa saja dengan cara sebagian dari seluruh total produksi pesawat dikerjakan di Bandung. Sehingga bisa tercipta keadaan saling menguntungkan bagi Lion Air dan PT DI. Permintaan pesawat dari Lion Air dapat terpenuhi dan PT DI memiliki proyek dengan nilai dana begitu besar yang bisa dimanfaatkan untuk mulai membangkitkan kembali keadaan finansial PT DI. 5


Daftar Pustaka

Tidak ada komentar: