Saat bioskop
Indonesia sedang diramaikan dengan film Habibie & Ainun. Dari film tersebut
kita dapat mengikuti bagaimana jalan cerita industri pesawat terbang di
Indonesia mulai dari masa-masa kuliah Pak Habibie di Jerman, keputusan Presiden
Suharto untuk membangun industri pesawat terbang di Indonesia, keberhasilan
ujicoba pesawat N 250 sampai puncaknya Pak Habibie yang menjadi Presiden
setelah Pak Harto turun, dan IPTN yang harus direkstrukturisasi.
Salah satu gambar yang
menyayat hati adalah sewaktu Pak Habibie dan Ibu Ainun mengunjungi hanggar yang
berisi pesawat N- 250 Krincing Wesi. Hanggar tersebut sepi, seakan ditinggalkan
para karyawannya. Pak Habibie memutar baling-baling pesawat dan seakan
menyesali karena begitu getolnya menciptakan pesawat tersebut, beliau sampai
harus banyak meninggalkan keluarga. Air mata Pak Habibie jatuh karena
pengorbanannya tampak sia-sia dengan penggambaran hanggar lengang yang seakan
sudah ditinggalkan para karyawannya.1
Cikal
Bakal Industri Pesawat Indonesia
PT. Dirgantara
Indonesia (PTDI) didirikan pada 26 April 1976 dengan nama PT. Industri Pesawat
Terbang Nurtanio dan BJ Habibie sebagai Presiden Direktur. Industri Pesawat
Terbang Nurtanio kemudian berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang
Nusantara (IPTN) pada 11 Oktober 1985. Setelah direstrukturisasi, IPTN kemudian
berubah nama menjadi Dirgantara Indonesia pada 24 Agustus 2000.
Dirgantara Indonesia
pernah mempunyai karyawan sampai 16 ribu orang. Karena krisis ekonomi yang
melanda Indonesia, Dirgantara Indonesia melakukan rasionalisasi karyawannya
hingga menjadi berjumlah sekitar 4000 orang.2
N-2130
Masa Depan Industri Pesawat Indonesia
Pada 10 November 1995,
bertepatan dengan terbang perdana N-250, Presiden Soeharto mengumumkan proyek
N-2130. Soeharto mengajak rakyat Indonesia untuk menjadikan proyek N-2130
sebagai proyek nasional. N-2130 yang diperkirakan akan menelan dana dua milyar
dollar AS (atau setara dengan 19 Trilyun dengan kurs saat ini) itu akan dibuat
secara gotong-royong melalui penjualan dua juta lembar saham dengan harga
pecahan 1.000 dollar AS. Untuk itu dibentuklah perusahaan PT Dua Satu Tiga
Puluh (PT DSTP) untuk melaksanakan proyek besar ini.
Pesawat N-2130 adalah
pesawat jet komuter berkapasitas 80-130 penumpang rancangan asli IPTN.
Menggunakan kode N yang berarti Nusantara menunjukkan bahwa desain, produksi
dan perhitungannya dikerjakan di Indonesia atau bahkan Nurtanio, yang merupakan
pendiri dan perintis industri penerbangan di Indonesia.
Saat badai krisis
moneter 1997 menerpa Indonesia, PT DSTP limbung. Setahun kemudian akibat adanya
ketidakstabilan politik dan penyimpangan pendanaan, mayoritas pemegang saham
melalui RUPSLB (Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa) 15 Desember 1998 meminta
PT DSTP untuk melikuidasi diri.
Untuk preliminary design pesawat ini, IPTN
telah mengeluarkan tenaga, pikiran, dan uang yang tak kecil. Dana yang telah
dikeluarkan lebih dari 70 juta dollar AS (Setara dengan 675 milyar rupiah
dengan kurs saat ini) yang sesuai keputusan RUPSLB, dana bagi ini selanjutnya
dianggap sunk-cost atau dana yang
tidak bisa dikembalikan lagi.3
Mati
Suri
Keberadaan PT DI saat
ini bisa dibilang memprihatinkan, perusahaan yang terletak di Bandung ini
sedang memiliki utang dalam jumlah beberapa triliun. PT DI sempat mengalami
kejayaan pada tahun 90-an dengan mampu menghasilkan produksi dan inovasi
beberapa pesawat terbang kelas dunia ketika itu, kemunduran PT DI berawal pada
sekitar tahun 2000 ketika IMF meminta kepada Indonesia untuk membatasi kucuran
dana kepada PT DI karena dianggap akan mempengaruhi kestabilan ekonomi
Indonesia yang saat itu masih dalam suasana krisis moneter. Keputusan
pemerintah yang mematuhi permintaan dari IMF sangat disayangkan karena ketika
itu PT DI justru sedang bergerak maju dan bahkan telah menerima banyak pesanan
dari luar negeri untuk mulai memproduksi pesawat terbang.
Pembelian
Pesawat Boeing oleh Maskapai Penerbangan Lion Air
Penandatanganan
perjanjian pembelian pesawat buatan Boeing oleh maskapai penerbangan nasional
yaitu Lion Air terjadi pada perhelatan KTT ASEAN 2011 di Bali beberapa waktu
yang lalu. Perjanjian ini bahkan dihadiri oleh Presiden Amerika Serikat Barrack
Obama dan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton.
Peristiwa ini
mengejutkan bagi beberapa pihak karena nilai perjanjianya sangat fantastis
nilai total pembelian 230 pesawat jenis B737 ini mencapai 21,7 miliar USD
(sekitar Rp195 Triliun). Bahkan terkesan fantastis bagi Boeing sendiri karena
pembelian ini adalah kegiatan pembelian pesawat terbanyak dan nilai pembelian terbesar
selama sejarah Boeing.
Rekor sebelumnya
dilakukan oleh maskapai Emirates Airlines yang menandatangani perjanjian kerja
senilai US$18 miliar (Rp161,28 triliun) untuk memasok maskapai sebanyak 50
pesawat.
Pesawat Boeing yang
dibeli Lion itu terdiri dari kombinasi jenis 201 unit 737 MAX dan 29 unit
737-900 ER. Kesepakatan itu juga termasuk hak untuk menambah pembelian 150
pesawat.4
Menurut penulis sendiri
Lion Air adalah maskapai yang mempunyai strategi sangat bagus mengingat minat
masyarakat Asia terhadap kebutuhan transportasi menggunakan pesawat terbang
sedang meningkat pesat. Sedangkan tarif yang diberikan cukup bersaing, dengan
frekuensi penerbangan yang sering dan rute jalur penerbangan yang cukup
lengkap. Untuk rute yang agak jauh Lion Air menggunakan pesawat boeing 737
untuk rute yang menengah Lion Air menggunakan pesawat ATR-72. Sedangkan untuk
rute haji menggunakan boeing 747.
Di sisi lain bagi
industri pembuat pesawat terbang keputusan ini sangat disayangkan. Karena
sebenarnya Indonesia masih memiliki PT
DI (Dirgantara Indonesia) yang sejak lama BUMN ini memang dikhususkan sebagai
tempat untuk memproduksi pesawat terbang. Mungkin banyak orang akan
mempertanyakan mengapa nilai uang yang begitu besar harus dibuang ke luar
negeri bila di negeri sendiri kita mampu untuk membuat pesawat terbang sendiri
dan sedang membutuhkan dana untuk membangkitkan kembali PT DI. Tetapi bagi Lion
Air sendiri ini adalah keputusan bisnis dimana pembelian pesawat tersebut tidak
dilakukan dengan uang sendiri alias melalui kredit melalui Bank Expor Amerika
sehingga keputusan untuk menyerahkan sepenuhnya pembelian pesawat ke Boeing dikarenakan
berbagai pertimbangan strategis mengingat Boeing sudah sangat paham tentang
seluk beluk pesawat terbang dan dapat memproduksi pesawat yang tingkat
keamanannya tinggi tetapi biaya operasionalnya rendah.
Meskipun begitu yang
patut dipertanyakan adalah kebijakan pemerintah Indonesia. Pemerintah justru
terkesan tidak peduli terhadap PT DI dan membiarkan Lion Air melakukan
pembelian pesawat terbang kepada Boeing.
Solusi
Bersama
Ada
baiknya bila perjanjian antara Lion Air dengan Boeing mampu pula untuk
melibatkan PT DI di dalamnya. Bisa saja dengan cara sebagian dari seluruh total
produksi pesawat dikerjakan di Bandung. Sehingga bisa tercipta keadaan saling
menguntungkan bagi Lion Air dan PT DI. Permintaan pesawat dari Lion Air dapat
terpenuhi dan PT DI memiliki proyek dengan nilai dana begitu besar yang bisa
dimanfaatkan untuk mulai membangkitkan kembali keadaan finansial PT DI. 5
Daftar
Pustaka
- http://www.indonesian-aerospace.com
- http://id.wikipedia.org/wiki/Dirgantara_Indonesia
- http://id.wikipedia.org/wiki/N-2130
- http://finance.detik.com/read/2012/02/14/134654/1841910/4/lion-air-boeing-finalisasi-rekor-pembelian-230-pesawat-us--224-miliar
- http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2011/11/22/masih-ada-pt-di-kenapa-harus-membeli-pesawat-dari-boeing-412578.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar