Minggu, 25 Agustus 2013

GBE Regional Economics : Hambatan Perkembangan Entrepreneurship di Propinsi-propinsi di Luar Pulau Jawa




Topik

Regional Economics, Ease of Doing Business, Entrepreneurship


Pendahuluan


Macan Asia yang ambisius dan melesat dengan cepat – adalah gambaran negara Indonesia di tengah-tengah perekonomian dunia yang melambat. Indonesia merupakan negara dengan tingkat perekonomian tercepat ketiga diantara negara-negara G-20 untuk tahun 2009 dan Indonesia terus mencatat pertumbuhan ekonomi yang kuat,  pada tingkat yang diproyeksikan sebesar 6,4% untuk tahun 2012.


Entrepreneurship adalah salah satu tolok ukur kemajuan perekonomian suatu negara. Semakin meningkat persentase entrepreneur dalam suatu negara maka perekonomian negara juga akan semakin meningkat. Entrepreneurship di lokal propinsi diharapkan dapat meningkatkan ekonomi di propinsi tersebut. Entrepreneurship sangat penting karena menyangkut daya kreativitas dan daya juang. Semakin banyak bermunculan entrepreneur di suatu propinsi maka daya saing dan kreativitas di propinsi tersebut akan meningkat. Implikasinya secara akumulatif ekonomi di propinsi tersebut akan meningkat. 


Dengan adanya entrepreneurship juga membuka lowongan pekerjaan. Sehingga angkatan pencari kerja tidak perlu melakukan urbanisasi ke kota-kota kepulauan Jawa. Tempat belanja, wisata dan hiburan akan bermunculan, dan perputaran uang serta perekonomian akan meningkat di propinsi tersebut. 


Pada tulisan ini akan dipaparkan hambatan-hambatan yang mempengaruhi perkembangan entrepreneurship di propinsi-propinsi di luar Pulau Jawa.


Hambatan Perkembangan Entrepreneurship di Propinsi-propinsi di Luar Pulau Jawa


Tidak meratanya pertumbuhan ekonomi


Di Indonesia pertumbuhan ekonomi antar propinsi masih sangat tidak merata. Dilihat dari porsi GDRP (Gross Domestic Regional Product) bagian Indonesia barat dengan total area teritorial 31,93% dari keseluruhan total teritorial wilayah Indonesia tetapi menguasai ekonomi nasional sampai 82%. Di sisi lain Indonesia bagian timur dengan wilayah teritorial seluas 68,08% dari keseluruhan wilayah hanya menguasai 17% ekonomi. Kebanyakan dari bisnis berkembang dari Pulau Jawa dan sebagian besar investasi dilakukan di pulau jawa. Pemerataan ekonomi mencakupi pemerataan infrastruktur di setiap propinsi termasuk didalamnya listrik, air, internet dan telekomunkasi. Buruk dan timpangnya infrastruktur antar daerah menghambat pemerataan pembangunan ekonomi dan pemberdayaan ekonomi daerah yang terbelakang.


Desentralisasi tidak berjalan sesuai yang diharapkan


Sejak awal desentralisasi hingga akhir tahun 2010, tidak kurang dari 13.622 perda yang dikirimkan kepada pemerintah pusat. Kemenkeu telah mengkaji 13.252 perda dan merekomendasikan kepada Kemendagri 4.855 diantaranya untuk dibatalkan. Namun demikian, kemendagri baru membatalkan 1.843 perda sehingga masih tersisa 3.042 perda yang belum ditindaklanjuti.

Komite Pengawasan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menyatakan, sekitar 72% dari 1.481 peraturan daerah (perda) di 245 kabupaten/kota justru menimbulkan ekonomi biaya tinggi, sehingga investor enggan menanamkan modalnya.


Perda-perda tersebut dinilai menghambat investasi karena tidak sesuai dengan UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.


Tidak meratanya kemudahan mendirikan suatu usaha


Ease of Doing Business, hasil penelitian yang dilakukan oleh World Bank, adalah salah satu indikator kemudahan untuk menjalankan bisnis di suatu negara. Pembahasan mengenai indikator secara nasional sudah penulis bahas dalam artikel “Analisis Indikator Ease of Doing Business Sebagai Indikator Perkembangan Entrepreneurship di Indonesia.” Kesimpulan penulis indikator Ease of Doing Business berhubungan dengan jumlah entrepreneur di Indonesia. Semakin bagus indikator Ease of Doing Business maka jumlah entrepreneur akan meningkat dan sebaliknya semakin jelek indikator Ease of Doing Business maka semakin sulit bagi Entrepreneur untuk menjalankan bisnisnya. Selain mengadakan penelitian secara nasional (dengan sampel ibukota Jakarta) Bank Dunia juga melakukan survey secara regional di Propinsi-propinsi Indonesia. Laporan penelitian secara regional ini kemudian dirangkum dalam suatu laporan berjudul Doing Business in Indonesia

Laporan Doing Business in Indonesia 2012 tidak mengukur seluruh 11 indikator yang tercakup dalam laporan Doing Business versi global. Laporan ini hanya mencakup 3 area peraturan bidang usaha yang berada di bawah wewenang pemerintah daerah dan di mana terdapat perbedaan antara praktek yang dilakukan di satu daerah dengan daerah yang lainnya. Indikator yang disurvey adalah : (1) Perijinan pendirian usaha (2) Pengurusan izin-izin mendirikan bangunan dan (3) Pendaftaran Properti.


Survei perusahaan yang dilakukan oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan Indonesia mengidentifikasi dua dari 10 hambatan terbesar terhadap kegiatan investasi perusahaan adalah tidak memadainya jumlah tenaga kerja terdidik dan tingginya tingkat informalitas.[1] Salah satu dari kunci penyebab tingginya tingkat informalitas di Indonesia ini adalah beratnya beban yang harus ditanggung oleh perusahaan-perusahaan akibat kebijakan-kebijakan yang berlaku. Bahkan, hampir 30% dari perusahaan-perusahaan di Indonesia memulai kegiatan usahanya tanpa mendaftarkan diri secara formal.


Area dimana kebijakan yang berlaku memiliki tingkat kerumitan yang cukup tinggi cenderung memiliki para pelaku usaha di sektor informal yang lebih besar. Para pelaku usaha di sektor informal umumnya terpaksa mengorbankan beberapa hal : usaha-usaha yang bergerak di sektor informal umumnya mengalami pertumbuhan yang lebih lambat, kurang memiliki akses untuk memperoleh pinjaman dan mempekerjakan pekerja dalam jumlah yang lebih sedikit – dan para pekerja tidak memperoleh perlindungan hukum ketenagakerjaan yang berlaku.[2] Menurut kajian yang bersifat spesifik terhadap negara-negara tertentu, kondisi ini bahkan bisa lebih parah bagi usaha-usaha yang dimiliki oleh perempuan. Badan-badan usaha di sektor informal juga cenderung tidak membayar pajak.


Di tempat dimana peraturan yang ada bersifat berbelit-belit dan daya saing terbatas, kesuksesan suatu usaha cenderung bergantung pada siapa yang anda kenal dibandingkan dengan apa yang dapat anda lakukan. Namun sebaliknya, di tempat dimana peraturan yang ada bersifat transparan, efisien, dan terselenggara dengan sederhana, para calon pengusaha dapat dengan mudah, terlepas dari koneksi yang mereka miliki, menjalankan usaha dalam koridor hukum yang berlaku serta memanfaatkan peluang-peluang yang ada untuk memperoleh perlindungan sebagaimana ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Berikut Indikator Ease of  Doing Business dari beberapa kota propinsi di Indonesia

1. Izin Pendirian Usaha

Peringkat-peringkat didasarkan pada rata-rata persentase peringkat kota untuk prosedur waktu, biaya dan modal disetor minimum untuk mendirikan usaha. Peringkat kota terbaik adalah Yogyakarta dan tersulit ada di Manado. Di antara 20 kota-kota di Indonesia yang dikaji, mendirikan usaha menghabiskan rata-rata 9 prosedur, 33 hari dan biaya 22% dari pendapatan per kapita nasional. Lebih lama 1 bulan dibandingkan Malaysia dan 4 kali lipat dibandingkan Thailand.



Tabel 1. Kota-kota dengan tingkat kemudahan pendirian usaha terbaik dan terburuk 


Gambar 1. Total biaya dan lama waktu untuk pendirian usaha per propinsi

2. Pengurusan Izin Mendirikan Bangunan

Metodologi untuk mengurus izin-izin mendirikan bangunan berubah pada tahun 2011. Peringkat didasarkan pada rata-rata persentase peringkat kota untuk prosedur, waktu, dan biaya mengurus izin-izin mendirikan bangunan. Di seluruh Indonesia, mengurus izin-izin mendirikan bangunan membutuhkan rata-rata 10 prosedur, 74 hari dan biaya 69,7% pendapatan per kapita lebih cepat dan lebih terjangkau diandingkan dengan rata-rata APEC yaitu 18 prosedur, 150 hari dan 87% pendapatan per kapita. Peraturan, praktek dan biaya yang berbeda yang berlaku di tingkat kota akan menyebabkan timbulnya perbedaan yang nyata di antara kota-kota. Mengurus izin-izin mendirikan bangunan paling mudah di Balikpapan dan paling sulit di Jakarta. Di Gorontalo, tidak ada izin mendirikan bangunan untuk gudang komersil.


Tabel 2. Kota-kota dengan tingkat kemudahan dalam izin pendirian bangunan

Gambar 2. Total lama waktu untuk memperoleh izin pendirian bangunan per propinsi

 


Gambar 3. Total biaya untuk memperoleh izin pendirian bangunan per propinsi

3. Pendaftaran Properti

Peringkat didasarkan pada rata-rata persentase peringkat kota untuk prosedur, waktu dan biaya untuk mendaftarkan properti. Pendaftaran properti di Indonesia memakan rata-rata 6 prosedur, waktu 33 hari dan biaya 11% dari nilai propertidi 20 kota-kota di Indonesia yang diukur.  Sedangkan rata-rata di kawasan Asia Timur dan Pasifik 5 prosedur, 81 hari dan biaya sebesar 4,1% dari nilai properti. Dari hasil tabel disamping Bandung dan Jakarta merupakan kota dengan pendaftaran properti termudah.


Tabel 3. Kota-kota dengan tingkat kemudahan pendaftaran properti


Gambar 4. Total biaya dan lama waktu untuk pendaftaran properti per propinsi


Kesimpulan

Beberapa hambatan mempengaruhi perkembangan entrepreneurship di propinsi-propinsi di luar Pulau jawa antara lain adalah (1) tidak meratanya pertumbuhan ekonomi, (2) desentralisasi tidak berjalan sesuai yang diharapkan dan juga (3) tidak meratanya kemudahan mendirikan suatu usaha.

Pemecahan tidak meratanya pertumbuhan ekonomi dapat diatasi dengan pembangunan infrasturktur di luar propinsi luar jawa jalan, jembatan, listrik, penerangan, air, internet, telekomunikasi, sarana pendidikan dan juga kawasan industri.

Di sisi lain pemda-pemda tidak boleh mengeluarkan peraturan daerah yang menghambat kemudahan berusaha dan kemudahan untuk berinvestasi tentunya dengan tetap mempertahankan kearifan lokal (local wisdom). Apabila suatu investasi atau usaha memungkinkan untuk mematikan pasar lokal atau merusak alam  walikota atau gubernur berhak untuk menghentikan munculnya usaha tersebut.

Hal lain adalah tidak meratanya kemudahan mendirikan usaha. Meskipun hanya 3 indikator yang disurvey oleh Bank Dunia di 20 kota-kota di Indonesia hal ini dapat menjadi indikator. Propinsi-propinsi di luar Jawa harus lebih baik secara regulasi di bandingkan kota-kota di Pulau Jawa. Dengan semakin baiknya regulasi maka akan bermunculan investasi dan bermunculan entrepreneur-entrepreneur di tingkat lokal. Pekerjaan rumah bagi pemerintah dan kita semua untuk melakukan survey yang professional dan transparan seperti yang dilakukan oleh Bank Dunia dalam Ease of Doing Business-nya antara lain melakukan riset 11 indikator atau lebih di 33 propinsi di seluruh Indonesia. Kesebelas indikator tersebut adalah (1) memulai bisnis, (2) berurusan dengan izin konstruksi, (3) mendapatkan listrik, (4) pendaftaran properti, (5) mendapatkan kredit, (6) perlindungan investasi, (7) pembayaran pajak, (8) perdagangan lintas negara, (9) penegakkan kontrak, (10) penyelesaian kebangkrutan dan (11) mempekerjakan karyawan. Setelah 11 indikator tersebut didapatkan pemda-pemda di luar kepulauan Jawa dana melakukan reformasi regulasi untuk meningkatkan jumlah entrepreneur dan jumlah investasi.





[1] World Bank. Enterprise Surveys. Profil Indonesia (Indonesia Country Profile). 2009. Tersedia di http://www.enterprisesurveys.org.



[2] Schneider, Friedrich. 2005. “The Informal Sector in 145 Countries.” Department of Economics. University Linz.

Daftar Pustaka
  1. Wardhana, Lingga & Makodian, Nuraksa. 2010. TECHNOPRENEUR. Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia : Jakarta.
  2. Slide matakuliah Regional Economics oleh Sri Adiningsih, M.Sc., Ph.D.
  3. http://www.doingbusiness.org

Tidak ada komentar: