Topik
Regional
Economics, Ease of Doing Business, Entrepreneurship
Pendahuluan
Macan Asia yang
ambisius dan melesat dengan cepat – adalah gambaran negara Indonesia di
tengah-tengah perekonomian dunia yang melambat. Indonesia merupakan negara
dengan tingkat perekonomian tercepat ketiga diantara negara-negara G-20 untuk
tahun 2009 dan Indonesia terus mencatat pertumbuhan ekonomi yang kuat, pada tingkat yang diproyeksikan sebesar 6,4%
untuk tahun 2012.
Entrepreneurship adalah
salah satu tolok ukur kemajuan perekonomian suatu negara. Semakin meningkat
persentase entrepreneur dalam suatu negara maka perekonomian negara juga akan
semakin meningkat. Entrepreneurship di lokal propinsi diharapkan dapat
meningkatkan ekonomi di propinsi tersebut. Entrepreneurship sangat penting
karena menyangkut daya kreativitas dan daya juang. Semakin banyak bermunculan
entrepreneur di suatu propinsi maka daya saing dan kreativitas di propinsi
tersebut akan meningkat. Implikasinya secara akumulatif ekonomi di propinsi
tersebut akan meningkat.
Dengan adanya
entrepreneurship juga membuka lowongan pekerjaan. Sehingga angkatan pencari
kerja tidak perlu melakukan urbanisasi ke kota-kota kepulauan Jawa. Tempat
belanja, wisata dan hiburan akan bermunculan, dan perputaran uang serta
perekonomian akan meningkat di propinsi tersebut.
Pada tulisan ini akan
dipaparkan hambatan-hambatan yang mempengaruhi perkembangan entrepreneurship di
propinsi-propinsi di luar Pulau Jawa.
Hambatan
Perkembangan Entrepreneurship di Propinsi-propinsi di Luar Pulau Jawa
Tidak
meratanya pertumbuhan ekonomi
Di Indonesia
pertumbuhan ekonomi antar propinsi masih sangat tidak merata. Dilihat dari
porsi GDRP (Gross Domestic Regional Product) bagian Indonesia barat dengan
total area teritorial 31,93% dari keseluruhan total teritorial wilayah
Indonesia tetapi menguasai ekonomi nasional sampai 82%. Di sisi lain Indonesia
bagian timur dengan wilayah teritorial seluas 68,08% dari keseluruhan wilayah
hanya menguasai 17% ekonomi. Kebanyakan dari bisnis berkembang dari Pulau Jawa
dan sebagian besar investasi dilakukan di pulau jawa. Pemerataan ekonomi
mencakupi pemerataan infrastruktur di setiap propinsi termasuk didalamnya
listrik, air, internet dan telekomunkasi. Buruk dan timpangnya infrastruktur
antar daerah menghambat pemerataan pembangunan ekonomi dan pemberdayaan ekonomi
daerah yang terbelakang.
Desentralisasi
tidak berjalan sesuai yang diharapkan
Sejak awal
desentralisasi hingga akhir tahun 2010, tidak kurang dari 13.622 perda yang
dikirimkan kepada pemerintah pusat. Kemenkeu telah mengkaji 13.252 perda dan
merekomendasikan kepada Kemendagri 4.855 diantaranya untuk dibatalkan. Namun
demikian, kemendagri baru membatalkan 1.843 perda sehingga masih tersisa 3.042
perda yang belum ditindaklanjuti.
Komite Pengawasan
Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menyatakan, sekitar 72% dari 1.481 peraturan
daerah (perda) di 245 kabupaten/kota justru menimbulkan ekonomi biaya tinggi,
sehingga investor enggan menanamkan modalnya.
Perda-perda tersebut
dinilai menghambat investasi karena tidak sesuai dengan UU No 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Tidak
meratanya kemudahan mendirikan suatu usaha
Ease
of Doing Business, hasil penelitian yang dilakukan oleh
World Bank, adalah salah satu indikator kemudahan untuk menjalankan bisnis di
suatu negara. Pembahasan mengenai indikator secara nasional sudah penulis bahas
dalam artikel “Analisis Indikator Ease of Doing Business Sebagai Indikator
Perkembangan Entrepreneurship di Indonesia.” Kesimpulan penulis indikator Ease of Doing Business berhubungan
dengan jumlah entrepreneur di Indonesia. Semakin bagus indikator Ease of Doing Business maka jumlah
entrepreneur akan meningkat dan sebaliknya semakin jelek indikator Ease of Doing Business maka semakin
sulit bagi Entrepreneur untuk menjalankan bisnisnya. Selain mengadakan penelitian
secara nasional (dengan sampel ibukota Jakarta) Bank Dunia juga melakukan
survey secara regional di Propinsi-propinsi Indonesia. Laporan penelitian
secara regional ini kemudian dirangkum dalam suatu laporan berjudul Doing Business in Indonesia.
Laporan Doing Business
in Indonesia 2012 tidak mengukur seluruh 11 indikator yang tercakup dalam
laporan Doing Business versi global. Laporan ini hanya mencakup 3 area
peraturan bidang usaha yang berada di bawah wewenang pemerintah daerah dan di
mana terdapat perbedaan antara praktek yang dilakukan di satu daerah dengan
daerah yang lainnya. Indikator yang disurvey adalah : (1) Perijinan pendirian
usaha (2) Pengurusan izin-izin mendirikan bangunan dan (3) Pendaftaran
Properti.
Survei perusahaan yang
dilakukan oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan Indonesia
mengidentifikasi dua dari 10 hambatan terbesar terhadap kegiatan investasi
perusahaan adalah tidak memadainya jumlah tenaga kerja terdidik dan tingginya
tingkat informalitas.[1]
Salah satu dari kunci penyebab tingginya tingkat informalitas di Indonesia ini
adalah beratnya beban yang harus ditanggung oleh perusahaan-perusahaan akibat
kebijakan-kebijakan yang berlaku. Bahkan, hampir 30% dari perusahaan-perusahaan
di Indonesia memulai kegiatan usahanya tanpa mendaftarkan diri secara formal.
Area dimana kebijakan
yang berlaku memiliki tingkat kerumitan yang cukup tinggi cenderung memiliki
para pelaku usaha di sektor informal yang lebih besar. Para pelaku usaha di
sektor informal umumnya terpaksa mengorbankan beberapa hal : usaha-usaha yang
bergerak di sektor informal umumnya mengalami pertumbuhan yang lebih lambat,
kurang memiliki akses untuk memperoleh pinjaman dan mempekerjakan pekerja dalam
jumlah yang lebih sedikit – dan para pekerja tidak memperoleh perlindungan
hukum ketenagakerjaan yang berlaku.[2]
Menurut kajian yang bersifat spesifik terhadap negara-negara tertentu, kondisi
ini bahkan bisa lebih parah bagi usaha-usaha yang dimiliki oleh perempuan.
Badan-badan usaha di sektor informal juga cenderung tidak membayar pajak.
Di tempat dimana
peraturan yang ada bersifat berbelit-belit dan daya saing terbatas, kesuksesan
suatu usaha cenderung bergantung pada siapa yang anda kenal dibandingkan dengan
apa yang dapat anda lakukan. Namun sebaliknya, di tempat dimana peraturan yang
ada bersifat transparan, efisien, dan terselenggara dengan sederhana, para
calon pengusaha dapat dengan mudah, terlepas dari koneksi yang mereka miliki,
menjalankan usaha dalam koridor hukum yang berlaku serta memanfaatkan
peluang-peluang yang ada untuk memperoleh perlindungan sebagaimana ditetapkan
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berikut Indikator Ease of Doing Business dari beberapa kota propinsi
di Indonesia
1. Izin Pendirian Usaha
Peringkat-peringkat didasarkan pada rata-rata persentase peringkat kota untuk prosedur waktu, biaya dan modal disetor minimum untuk mendirikan usaha. Peringkat kota terbaik adalah Yogyakarta dan tersulit ada di Manado. Di antara 20 kota-kota di Indonesia yang dikaji, mendirikan usaha menghabiskan rata-rata 9 prosedur, 33 hari dan biaya 22% dari pendapatan per kapita nasional. Lebih lama 1 bulan dibandingkan Malaysia dan 4 kali lipat dibandingkan Thailand.
2. Pengurusan Izin Mendirikan Bangunan
Metodologi untuk mengurus izin-izin mendirikan bangunan berubah pada tahun 2011. Peringkat didasarkan pada rata-rata persentase peringkat kota untuk prosedur, waktu, dan biaya mengurus izin-izin mendirikan bangunan. Di seluruh Indonesia, mengurus izin-izin mendirikan bangunan membutuhkan rata-rata 10 prosedur, 74 hari dan biaya 69,7% pendapatan per kapita lebih cepat dan lebih terjangkau diandingkan dengan rata-rata APEC yaitu 18 prosedur, 150 hari dan 87% pendapatan per kapita. Peraturan, praktek dan biaya yang berbeda yang berlaku di tingkat kota akan menyebabkan timbulnya perbedaan yang nyata di antara kota-kota. Mengurus izin-izin mendirikan bangunan paling mudah di Balikpapan dan paling sulit di Jakarta. Di Gorontalo, tidak ada izin mendirikan bangunan untuk gudang komersil.
3. Pendaftaran Properti
Peringkat didasarkan pada rata-rata persentase peringkat kota untuk prosedur, waktu dan biaya untuk mendaftarkan properti. Pendaftaran properti di Indonesia memakan rata-rata 6 prosedur, waktu 33 hari dan biaya 11% dari nilai propertidi 20 kota-kota di Indonesia yang diukur. Sedangkan rata-rata di kawasan Asia Timur dan Pasifik 5 prosedur, 81 hari dan biaya sebesar 4,1% dari nilai properti. Dari hasil tabel disamping Bandung dan Jakarta merupakan kota dengan pendaftaran properti termudah.
Kesimpulan
Beberapa hambatan mempengaruhi perkembangan entrepreneurship di propinsi-propinsi di luar Pulau jawa antara lain adalah (1) tidak meratanya pertumbuhan ekonomi, (2) desentralisasi tidak berjalan sesuai yang diharapkan dan juga (3) tidak meratanya kemudahan mendirikan suatu usaha.
Pemecahan tidak meratanya pertumbuhan ekonomi dapat diatasi dengan pembangunan infrasturktur di luar propinsi luar jawa jalan, jembatan, listrik, penerangan, air, internet, telekomunikasi, sarana pendidikan dan juga kawasan industri.
Di sisi lain pemda-pemda tidak boleh mengeluarkan peraturan daerah yang menghambat kemudahan berusaha dan kemudahan untuk berinvestasi tentunya dengan tetap mempertahankan kearifan lokal (local wisdom). Apabila suatu investasi atau usaha memungkinkan untuk mematikan pasar lokal atau merusak alam walikota atau gubernur berhak untuk menghentikan munculnya usaha tersebut.
Hal lain adalah tidak meratanya kemudahan mendirikan usaha. Meskipun hanya 3 indikator yang disurvey oleh Bank Dunia di 20 kota-kota di Indonesia hal ini dapat menjadi indikator. Propinsi-propinsi di luar Jawa harus lebih baik secara regulasi di bandingkan kota-kota di Pulau Jawa. Dengan semakin baiknya regulasi maka akan bermunculan investasi dan bermunculan entrepreneur-entrepreneur di tingkat lokal. Pekerjaan rumah bagi pemerintah dan kita semua untuk melakukan survey yang professional dan transparan seperti yang dilakukan oleh Bank Dunia dalam Ease of Doing Business-nya antara lain melakukan riset 11 indikator atau lebih di 33 propinsi di seluruh Indonesia. Kesebelas indikator tersebut adalah (1) memulai bisnis, (2) berurusan dengan izin konstruksi, (3) mendapatkan listrik, (4) pendaftaran properti, (5) mendapatkan kredit, (6) perlindungan investasi, (7) pembayaran pajak, (8) perdagangan lintas negara, (9) penegakkan kontrak, (10) penyelesaian kebangkrutan dan (11) mempekerjakan karyawan. Setelah 11 indikator tersebut didapatkan pemda-pemda di luar kepulauan Jawa dana melakukan reformasi regulasi untuk meningkatkan jumlah entrepreneur dan jumlah investasi.
1. Izin Pendirian Usaha
Peringkat-peringkat didasarkan pada rata-rata persentase peringkat kota untuk prosedur waktu, biaya dan modal disetor minimum untuk mendirikan usaha. Peringkat kota terbaik adalah Yogyakarta dan tersulit ada di Manado. Di antara 20 kota-kota di Indonesia yang dikaji, mendirikan usaha menghabiskan rata-rata 9 prosedur, 33 hari dan biaya 22% dari pendapatan per kapita nasional. Lebih lama 1 bulan dibandingkan Malaysia dan 4 kali lipat dibandingkan Thailand.
Tabel 1.
Kota-kota dengan tingkat kemudahan pendirian usaha terbaik dan terburuk
Gambar 1.
Total biaya dan lama waktu untuk pendirian usaha per propinsi
2. Pengurusan Izin Mendirikan Bangunan
Metodologi untuk mengurus izin-izin mendirikan bangunan berubah pada tahun 2011. Peringkat didasarkan pada rata-rata persentase peringkat kota untuk prosedur, waktu, dan biaya mengurus izin-izin mendirikan bangunan. Di seluruh Indonesia, mengurus izin-izin mendirikan bangunan membutuhkan rata-rata 10 prosedur, 74 hari dan biaya 69,7% pendapatan per kapita lebih cepat dan lebih terjangkau diandingkan dengan rata-rata APEC yaitu 18 prosedur, 150 hari dan 87% pendapatan per kapita. Peraturan, praktek dan biaya yang berbeda yang berlaku di tingkat kota akan menyebabkan timbulnya perbedaan yang nyata di antara kota-kota. Mengurus izin-izin mendirikan bangunan paling mudah di Balikpapan dan paling sulit di Jakarta. Di Gorontalo, tidak ada izin mendirikan bangunan untuk gudang komersil.
Tabel 2.
Kota-kota dengan tingkat kemudahan dalam izin pendirian bangunan
Gambar
2.
Total lama waktu untuk memperoleh izin pendirian bangunan per propinsi
Gambar
3.
Total biaya untuk memperoleh izin pendirian bangunan per propinsi
3. Pendaftaran Properti
Peringkat didasarkan pada rata-rata persentase peringkat kota untuk prosedur, waktu dan biaya untuk mendaftarkan properti. Pendaftaran properti di Indonesia memakan rata-rata 6 prosedur, waktu 33 hari dan biaya 11% dari nilai propertidi 20 kota-kota di Indonesia yang diukur. Sedangkan rata-rata di kawasan Asia Timur dan Pasifik 5 prosedur, 81 hari dan biaya sebesar 4,1% dari nilai properti. Dari hasil tabel disamping Bandung dan Jakarta merupakan kota dengan pendaftaran properti termudah.
Tabel 3. Kota-kota dengan
tingkat kemudahan pendaftaran properti
Gambar 4.
Total biaya dan lama waktu untuk pendaftaran properti per propinsi
Kesimpulan
Beberapa hambatan mempengaruhi perkembangan entrepreneurship di propinsi-propinsi di luar Pulau jawa antara lain adalah (1) tidak meratanya pertumbuhan ekonomi, (2) desentralisasi tidak berjalan sesuai yang diharapkan dan juga (3) tidak meratanya kemudahan mendirikan suatu usaha.
Pemecahan tidak meratanya pertumbuhan ekonomi dapat diatasi dengan pembangunan infrasturktur di luar propinsi luar jawa jalan, jembatan, listrik, penerangan, air, internet, telekomunikasi, sarana pendidikan dan juga kawasan industri.
Di sisi lain pemda-pemda tidak boleh mengeluarkan peraturan daerah yang menghambat kemudahan berusaha dan kemudahan untuk berinvestasi tentunya dengan tetap mempertahankan kearifan lokal (local wisdom). Apabila suatu investasi atau usaha memungkinkan untuk mematikan pasar lokal atau merusak alam walikota atau gubernur berhak untuk menghentikan munculnya usaha tersebut.
Hal lain adalah tidak meratanya kemudahan mendirikan usaha. Meskipun hanya 3 indikator yang disurvey oleh Bank Dunia di 20 kota-kota di Indonesia hal ini dapat menjadi indikator. Propinsi-propinsi di luar Jawa harus lebih baik secara regulasi di bandingkan kota-kota di Pulau Jawa. Dengan semakin baiknya regulasi maka akan bermunculan investasi dan bermunculan entrepreneur-entrepreneur di tingkat lokal. Pekerjaan rumah bagi pemerintah dan kita semua untuk melakukan survey yang professional dan transparan seperti yang dilakukan oleh Bank Dunia dalam Ease of Doing Business-nya antara lain melakukan riset 11 indikator atau lebih di 33 propinsi di seluruh Indonesia. Kesebelas indikator tersebut adalah (1) memulai bisnis, (2) berurusan dengan izin konstruksi, (3) mendapatkan listrik, (4) pendaftaran properti, (5) mendapatkan kredit, (6) perlindungan investasi, (7) pembayaran pajak, (8) perdagangan lintas negara, (9) penegakkan kontrak, (10) penyelesaian kebangkrutan dan (11) mempekerjakan karyawan. Setelah 11 indikator tersebut didapatkan pemda-pemda di luar kepulauan Jawa dana melakukan reformasi regulasi untuk meningkatkan jumlah entrepreneur dan jumlah investasi.
[1] World
Bank. Enterprise Surveys. Profil Indonesia (Indonesia Country Profile). 2009.
Tersedia di http://www.enterprisesurveys.org.
[2]
Schneider, Friedrich. 2005. “The Informal Sector in 145 Countries.” Department
of Economics. University Linz.
Daftar Pustaka
- Wardhana, Lingga & Makodian, Nuraksa. 2010. TECHNOPRENEUR. Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia : Jakarta.
- Slide matakuliah Regional Economics oleh Sri Adiningsih, M.Sc., Ph.D.
- http://www.doingbusiness.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar